Sunday, July 31, 2005

TUTUP TPST BOJONG!

Rencana uji coba TPST Bojong di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, kembali menjadi wacana hangat di masyarakat. Pemprov DKI Jakarta, Pemkab Bogor dan PT Wira Guna Sejahtera hendak menjadikan Desa Bojong sebagai ”keranjang sampah” sekitar 6000 ton sampah per hari dari Jakarta. Setelah beberapa kali rencana uji coba dan gagal, Pemkab Bogor mengumumkan kembali rencana uji coba TPST Bojong antara tanggal 25-27 Juli 2005 dan TPST akan dioperasikan secara penuh pada awal Agustus.

Masyarakat bereaksi keras menentang rencana uji coba tersebut. Mereka mengadakan tabligh Akbar dan mimbar bebas pada tanggal 24 Juli 2005 yang dihadiri ribuan masyarakat anti TPST Bojong beserta tokoh masyarakat, LSM dan elemen mahasiswa. Tabligh akbar ini sebagai wujud penolakan uji coba TPST Bojong sekaligus jawaban atas statemen Pihak PT WGS yang menyatakan bahwa orang yang menolak TPST Bojong tinggal sekitar 120 orang.

Karena respon penolakan masyarakat tersebut, uji coba tidak jadi dilakukan di akhir Juli 2005. Namun, informasi terakhir uji coba akan dilaksanakan di awal Agustus 2005 dengan menghadirkan konsorsium ahli dari beberapa perguruan tinggi seperti UNPAD, ITB, UI dan IPB.

Mengapa terjadi penolakan yang sangat besar dari berbagai elemen terhadap pengoperasian TPST Bojong? Teramat banyak data dan fakta yang menunjukkan TPST Bojong memang tidak layak dioperasikan dan harus direlokasi ke tempat lain. Diantaranya:

Kebohongan Publik

Kebohongan pertama, Informasi yang diterima masyarakat pada mulanya adalah akan dibangun pabrik keramik di desa Bojong. Maka mereka pun menyetujui dan memberikan tanda tangan karena dijanjikan pekerjaan bagi masyarakat sekitar yang memang banyak pengangguran. Masyarakat marah dan merasa dibohongi ketika ternyata justru di tempat tersebut dibangun untuk dijadikan Tempat Pengolahan Sampah.

Kebohongan kedua, Surat persetujuan dari DPRD Kabupaten Bogor atas pembanguan TPST Bojong disinyalir palsu karena beberapa anggota dewan merasa tidak pernah ada pembahasan dalam sidang. Kasus pemalsuan tanda tangan anggota dewan ini dilaporkan ke polisi, namun tidak pernah ada tindak lanjut. Bahkan pimpinan DPRD yang diduga bertanggung jawab atas kasus ini bisa dengan tenang melenggang menjadi anggota DPR Pusat.

Kebohongan ketiga, Dalam surat perizinan pendirian TPST Bojong disebutkan luas wilayah adalah 20 hektar. Ketika TAWB (Tim Advokasi Warga Bojong) melakukan pengukuran, ternyata luas yang digunakan diperkirakan sekitar 30-35 hektar.

Pelanggaran Hukum

Pelanggaran pertama, SK Bupati No 591/31/Kpts/Huk/2001 Pemberian izin lokasi pembanguna TPST Bojong yang dikeluarkan Bupati Kabupaten Bogor serta SK Pimpinan DPRD kabupaten Bogor No. 41 Tahun 2002 tentang persetujuan kesepakatan bersama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan PT WGS, bertentangan dengan Perda No. 27 tahun 1998 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor yang menegaskan kawasan daerah tersebut sebagai kawasan pengembangan permukiman, pengembangan pariwisata dan pertanian, dan bukan sebagai tempat pengolahan sampah

Pelanggaran kedua, SK Bupati No 591/31/Kpts/Huk/2001 dan SK Pimpinan DPRD kabupaten Bogor No. 41 Tahun 2002 di atas juga bertentangan dengan UU No. 42 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang dalam pasal 5 ayat 2 disebutkan: ”Setiap orang berkewajiban menaati Tata Ruang yang telah ditetapkan.”

Masalah AMDAL

Masalah pertama, Jika ditinjau dari aspek lingkungan hidup, maka lokasi TPST Bojong sangat tidak layak karena berdekatan dengan tempat pemukiman penduduk di sekeliling TPST. Bahkan ada rumah penduduk yang bagian belakangnya sangat berdekatan dengan benteng TPST (sekitar 5-10 meter), padahal dalam peraturan seharusnya jarak antara TPST dengan pemukiman minimal 300 meter

Masalah kedua, Jarak TPST dengan pemukiman penduduk yang sangat dekat memungkinkan bau sampah akan sangat mengganggu masyarakat. Sebagai contoh TPST Bantargebang baunya tercium sampai 10 kilo meter. Padahal dalam radius tersebut, TPST Bojong dikelilingi oleh pemukiman, perumahan dan real estate yang tersebar di beberapa desa.

Masalah ketiga, Di belakang TPST Bojong ada sungai Cikarang yang menjadi sumber air bagi kebutuhan penduduk sekitar, terutama pada waktu musim kemarau sungai tersebut menjadi sumber utama air penduduk. Jika sungai tersebut sampai tercemar, maka akan merugikan masyarakat di beberapa kecamatan sekitar TPST Bojong.

Masalah keempat, Jalan yang akan dilalui truk-truk sampah kurang layak dilalui kendaraan-kendaraan besar apalagi jumlahnya mencapai ratusan truk sampah dalam sehari semalam. Selain itu, ratusan truk sampah yang akan melalui jalan tersebut biasanya menjatuhkan air sampah yang bau seperti pada waktu uji coba sebelumnya. Hal ini jelas mengganggu warga yang tinggal di sepanjang jalan tersebut.

Masalah kelima, Sampah yang menggunung bisa menyebabkan pencemaran air dan udara. Ini bisa menyebabkan penyakit TBC, Asma, penyakit kulit dan sebagainya

Masalah teknologi yang digunakan

Masalah pertama, Dalam tiga kali uji coba pertama, ternyata mesin yang digunakan gagal. Hal ini menunjukkan teknologi yang digunakan belum benar-benar teruji dan tidak bisa diandalkan.

Masalah kedua, Kapasitas mesin yang hanya mampu mengolah sampah sekitar 300 ton sampah setiap hari. Dengan jumlah mesin yang hanya tiga buah (informasi terakhir hanya satu yang berfungsi) berarti dalam satu hari hanya mampu mengolah sampah 900 ton sampah. Jika diasumsikan dari 6000 ton sampah ada sekitar 1500 ton sampah anorganik setiap hari, maka setiap hari terjadi penumpukan 600 ton sampah. Belum lagi jika terjadi listrik mati atau ada kerusakan pada mesinnya, maka penumpukan sampah bisa berkali lipat. Berdasarkan perhitungan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), jika terjadi penumpukan sampah 600 ton dan luas TPST betul-betul 20 hektar, maka TPST hanya mampu digunakan maksimal selama 114 hari. Padahal, dalam izinnya selama lima tahun

Premanisme dan Kekerasan

Masyarakat yang menolak kehadiran TPST Bojong mendapatkan intimidasi dan teror. Rumah pimpinan FKMPL (Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan) dibakar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya itu, ancaman bertebaran menakut-nakuti warga sekitar TPST. Pihak kepolisian pun ternyata terlibat melakukan kekerasan terhadap warga yang dituduh merusak TPST pada tanggal 22 November 2005.

Penolakan berbagai elemen

Tidak hanya masyarakat sekitar yang menolak pengoperasian TPST Bojong, tapi juga LSM (WALHI, YLBHI, PBHI, KONTRAS dll), Organisasi Pergerakan Kemahasiswaan (BEM UNPAD, BEM IPB, KAMMI Bogor, FAM UI, LSADI dll), dan Organisasi Kemasyarakatan (KAHMI, Pemuda Muhammadiyyah dsb). Bahkan DPRD Kabupaten Bogor, DPRD Jawa Barat, DPR RI, Departemen Lingkungan Hidup, BPPT, Gubernur Jawa Barat dan lain-lain pun semuanya sepakat bahwasanya TPST Bojong harus ditutup.

Sebenarnya permasalahan ini sangatlah jelas dan terang, seterang mentari di siang hari. TPST Bojong sangat tidak layak untuk dioperasikan ditinjau dari berbagai aspeknya. Namun anehnya, Gubernur DKI, Bupati Kabupaten Bogor dan PT WGS masih bersikeras untuk melakukan uji coba dan mengoperasikan TPST Bojong.

Pemaksaan kehendak yang ditentang berbagai pihak ini bisa jadi menimbulkan konflik sosial yang besar dan akan merugikan semua pihak. Sebaiknya Gubernur DKI Jaya, Bupati Kabupaten Bogor dan PT WGS merelokasi TPST Bojong secepatnya ke tempat lain yang lebih tepat dan cocok.

Kasus ini juga merupakan tantangan bagi semua pihak untuk merumuskan konsep terpadu pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan tidak menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar.

No comments: