Monday, January 24, 2005

KONSEKUENSI IDENTITAS MAHASISWA

MAHASISWA, beberapa tahun lalu ketika baru masuk perguruan tinggi, kata itu semula terdengar aneh dan gagah. Penulis tersentak ketika menyadari, sebutan itu ditujukan kepada saya, bukan kepada orang lain. Sebutan itu mulai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri ini. Ternyata, saya telah memiliki identitas baru, mahasiswa!

Semula, terselip rasa bangga ketika dipanggil mahasiswa. Bagaimana tidak, sekarang saya bukan sekadar siswa lagi karena ada tambahan "maha" sebelumnya. Lebih dari itu, identitas ini tidak didapatkan dengan tiba-tiba, sim salabim! Identitas ini didapat setelah berjibaku dalam seleksi super ketat melawan ribuan saingan ketika UMPTN/SPMB. Sehingga, rasanya tak terlalu salah menganggap identitas mahasiswa sebagai simbol kemenangan para juara.
Tidak hanya itu, mahasiswa mendapatkan berbagai gelar yang menggelegar: agent of change, director of change, creative minority, calon pemimpin bangsa dan lain sebagainya. Berbagai perubahan besar dalam persimpangan sejarah negeri ini, senantiasa menempatkan mahasiswa dalam posisi terhormat.
Misalnya, sebagai pahlawan demokrasi, bahkan gerakan yang dibangun mahasiswa disebut sebagai pilar demokrasi yang kelima. Mahasiswa menjadi tumpuan harapan bangsa, harapan negara, harapan masyarakat, harapan keluarga dan juga harapan agama.
Di tengah euforia identitas itu, tiba-tiba muncul seberkas kesadaran. Ada peran-peran yang harus dilakukan sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi otomatis dari identitas mahasiswa.
Harapan dan Konsekuensi
Berbagai istilah menggelegar itu menuntut pemilik identitas mahasiswa, untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dikerjakan. Ada harapan di balik berbagai sebutan dan julukan untuk mahasiswa. Ya, ada konsekuensi identitas mahasiswa! Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi konsekuensi identitas mahasiswa.
Pertama, aspek akademis. Dalam aspek ini tuntutan peran mahasiswa hanya satu, belajar. Ini sebenarnya merupakan tugas inti mahasiswa karena konsekuensi identitas mahasiswa dalam aspek yang lain, merupakan derivat dari proses pembelajaran mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica harus menjadi insan yang memiliki keunggulan intelektual, karena itu merupakan modal dasar kredibilitas intelektual.
Kedua, aspek organisasional. Tidak semua hal bisa dipelajari di kelas dan laboratorium. Masih banyak hal yang bisa dipelajari di luar kelas, terutama yang hanya bisa dipelajari dalam organisasi. Organisasi kemahasiswaan menyediakan kesempatan pengembangan diri luar biasa dalam berbagai aspek. Misalnya, aspek kepemimpinan, manajemen keorganisasian, membangun human relation, team building dan sebagainya. Organisasi juga sekaligus menjadi laboratorium gratis ajang aplikasi ilmu yang didapat di kelas kuliah.
Ketiga, aspek sosial politik. Mahasiswa merupakan bagian dari rakyat, bahkan ia merupakan rakyat itu sendiri. Mahasiswa tidak boleh menjadi entitas terasing di tengah masyarakatnya sendiri. Ia dituntut untuk melihat, mengetahui, menyadari dan merasakan kondisi riil masyarakatnya yang hari ini sedang dirundung krisis multidimensional.
Kesadaran ini mesti teremosionalisasikan sedemikian rupa hingga tidak berhenti dalam tataran kognitif an sich, tapi harus mewujud dalam bentuk aksi advokasi. Dalam tataran praktis, aksi advokasi ini sering bersinggungan dengan ketidakadilan dan otoriterianisme kekuasaan. Menantang memang, namun di situlah jiwa kemahasiswaan seseorang teruji.
Kampus memang bukan merupakan masyarakat sesungguhnya (real society), tapi ia merupakan masyarakat semu (virtual society) dengan segala kemiripan kompleksitas permasalahan serta struktur sosialnya dengan masyarakat yang sebenarnya. Karena itu, mahasiswa bisa menjadikan kampus sebagai ajang simulasi yang menjadi bekal sebenarnya, ketika betul-betul terlibat dan terjun ke masyarakat sesungguhnya.
Maka, rasanya belum lengkap menjadi mahasiswa tanpa memenuhi berbagai konsekuensi identitas mahasiswa dalam ketiga aspeknya. Pemenuhan keseluruhan konsekuensi identitas mengantarkan kita pada kebermaknaan menjadi mahasiswa. Sehingga kita menjadi mahasiswa sebenarnya, tidak hanya sekadar mahasiswa!
Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 18 Januari 2004. Klik http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/18/1105.htm

Saturday, January 15, 2005

Unpad Will Born a New Leader


Ini adalah salah satu bukti kreatifitas tim sukses

HASIL DAN ANALISIS PRAMA UNPAD

Hasil PRAMA UNPAD

PRAMA UNPAD (Pemilu Raya Mahasiswa Universitas Padjadjaran) telah berakhir. Pada hari sabtu, 15 Januari 2005, telah dilaksanakan penghitungan akhir se-Universitas Padjadjaran dengan dihadiri oleh ketiga kandidat Presiden Mahasiswa. Adapun hasilnya sebagai berikut:
1. Rizki Ananda (Fisip 2001) mendapat 531 suara (5,3%)
2. Bambang M Fajar (FMIPA 2000) mendapat 1920 suara (19,29%)
3. Indra Kusumah (Fapsi 2000) mendapat 6983 suara (70,18%)
4. Abstain 108 suara (1,08%)
5. Suara Tidak Sah 408 (4,1%)
6. Jumlah Pemilih Total sebanyak 9950 mahasiswa Universitas Padjadjaran.

Analisis Hasil PRAMA UNPAD

Hasil PRAMA Unpad 2005 sungguh di luar dugaan banyak pihak. Sebagian besar orang menganggap akan terjadi penurunan suara dibandingkan Pemilu KEMA UNPAD tahun kemarin yang mampu meraih suara pemilih sekitar 9925 mahasiswa. Hal ini disebabkan anggapan mahasiswa yang semakin apatis dan Pemilu yang (katanya) tidak seramai tahun kemarin.

Kenyataannya jumlah suara sekarang meningkat. Bahkan, sebenarnya bisa jauh lebih besar dari 9950. Hal ini disebabkan masa pencoblosan berkurang 3 hari di awal dikarenakan kasus indikasi pelanggaran salah satu kandidat yang menyebabkan dia terancam diskualifikasi. Padahal, tiga hari itu adalah masa ketika mahasiswa banyak ke kampus. Dengan asumsi rata-rata per hari pemilih sebanyak 1200 mahasiswa, maka dalam waktu tiga hari yang hilang itu sebenarnya bisa menjaring 3600 suara. Jika dijumlahkan dengan hasil sekarang, maka kemungkinan besar pemilih total yang terjaring sebenarnya sebanyak 13550!!!!. Peningkatan pemilih pada tahun ini mudah-mudahan merupakan indikator BEM KEMA UNPAD ke depan semakin legitimate di mata mahasiswanya.

Hasil PRAMA UNPAD sekarang juga menunjukkan peningkatan suara kandidat pemenang dibandingkan tahun kemarin. Nasrul Haq sebagai pemenang Pemilu tahun kemarin meraih suara sekitar 6450 (65%), sedangkan Indra Kusumah sebagai pemenang Pemilu sekarang mendapat suara 6983 (70%). Mudah-mudahan hal ini menunjukkan legitimasi personal Ketua BEM sekarang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.

Berkaitan dengan anggapan PRAMA UNPAD sekarang kurang kreatif dibandingkan dengan tahun lalu, menurut Saya kurang tepat juga. Biasanya orang membandingkan dengan tahun kemarin yang heboh karena ada dua kandidat (Nasrul Haq dan Didi) yang berkampanye dengan naik kuda keliling ke tiap fakultas. Beberapa orang meminta Saya untuk melakukan hal yang sama, tapi Saya menolak karena kalau menjiplak bukan kreatif namanya. Saya lebih memilih keliling Unpad dengan motor Vespa teman Saya yang unik dan lucu (awalnya mau keliling pake Motor Harley Davidson lho!)

Saya memotivasi tim sukses Saya untuk menjadikan Pemilu kali ini sebagai pertarungan kreatifitas dan ajang aplikasi ilmu masing-masing. Saya menjadi saksi atas kerja keras tim sukses Saya yang “SUPER CREATIVE”!!!. Tim sukses Saya membuat VCD profile yang unik dan baru pertama kali dalam sejarah Pemilu mahasiswa di Unpad. Tim sukses Saya juga berkampanye di dunia virtual di friendster dan blog. Selain itu tim sukses ada yang bikin pamflet Indra Cinema, kalender, jadwal ujian, SMS lucu dan sebagainya.

Dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya, PRAMA UNPAD sekarang sepertinya memecahkan beberapa rekor, yaitu
1. Rekor pemilih total terbanyak (9950 suara)
2. Rekor suara kandidat pemenang terbanyak (6983 suara)
3. Rekor Pemenang di setiap Fakultas. Hal ini karena Kandidat nomer 3 menang di semua fakultas, termasuk di Fakultas yang sebenarnya ada kandidat lain

Dengan ini Saya menyatakan terima kasih kepada Tim Sukses yang “SUPERKREATIF”, PPU yang telah bekerja keras luar biasa, Majelis Tetap Kongres sebagai penanggung jawab, Kandidat lain yang berusaha berkompetisi secara fair, mahasiswa Unpad dan semua pihak yang bekerja keras mendukung suksesnya acara PRAMA UNPAD 2005 ini. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan balasan berlipat ganda.

Dengan ini pula Saya memohon bimbingan serta saran dan kritik konstruktif dari semua pihak supaya mampu menunaikan amanah ini dengan tetap istiqamah di jalan-Nya. Saya tidak menganggap amanah ini sebagai tahrim (kemulyaan), tapi sebagai sebuah taudzif (penugasan) yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh mahasiswa Unpad dan juga oleh Allah SWT di yaumil akhir. Saya yakin dengan kerja sama secara sinergi dari semua pihak, kita bisa memberikan yang terbaik untuk Universitas Padjadjaran dan juga untuk bangsa Indonesia.

Ya Allah berikanlah kesabaran, konsistensi, persistensi dan resistensi kepada hamba-Mu ini dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan di muka bumi-Mu. Jangan jadikan hamba-Mu ini pengkhianat atas amanah ini.

Allahummaj’alna imaama lil muttaqin….!
Allahumma innaka ta’lamu anna hadzihil qulub qad ijtama’at ‘ala mahabbatika, Wal taqat ‘ala thoatika, wa tawahhadat ‘ala da’watika, wa ta’ahadat ’ala nushrati syari’atika. Fa watsiqillahumma rabithotaha! Wa adim wuddaha! Wahdiha subulaha! Wamlaha binurika al ladzii la yakhbu! Wasyrah shuduraha bifaidil imani bika wa jamili tawakuli ‘alaika! Wa ahyiha bima’rifatika! Wa amitha ‘ala syahadati fi sabilika! Innaka ni’mal maula wa ni’man nashir….!
Aamiin ya mujibas sailin….!


Friday, January 14, 2005

PENCERAHAN MORAL DAN POLITIK MAHASISWA

Gerakan Mahasiswa: Resultan Gerakan Politik Nilai dan Gerakan Moral Mahasiswa

Gerakan moral (moral movement), sebuah istilah mempesona yang selama ini disematkan kepada gerakan mahasiswa. Mempesona karena berbicara tentang moral berarti berbicara tentang suara hati yang senantiasa merefleksikan kebenaran universal, menolak segala bentuk pelanggaran HAM, penindasan, kesewenang-wenangan, kedzaliman dan otoriterianisme kekuasaan. Suara hati nurani inilah yang memberi energi konstan dan kontinyu bagi pergerakan mahasiswa. Ya, kekuatan moral (moral force) adalah kekuatan abadi yang tak kan pernah mati selama ada manusia yang jujur dengan nuraninya.

Gerakan politik nilai (value political movement), istilah idealis lain yang dikaitkan dengan gerakan mahasiswa. Idealis karena gerakan yang dibangun bukan gerakan politik kekuasaan (power political movement) yang berorientasi kekuasaan seperti partai politik, namun berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara.

Perpaduan antara gerakan moral dan gerakan politik nilai inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang murni (genuine), unik, luas, lintas sektoral, anti kekerasan dan kontrol sosial yang teramat sulit dikooptasi oleh kepentingan politik kekuasaan an sich. Isu-isu yang diangkat terdiri dari berbagai masalah (politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, keamanan dan sebagainya) secara umum, namun dalam kondisi tertentu bisa menukik lebih spesifik seperti penurunan rezim diktator seperti yang terjadi pada tahun 1966, 1998, 1999, 2001 dan sekarang. Khusus masalah kepemimpinan nasional maupun daerah, gerakan mahasiswa tidak berkepentingan untuk mendukung seseorang menjadi presiden, gubernur, bupati dan sebagainya. Namun siapa pun yang naik ke pucuk pimpinan dan tidak menjalankan amanat reformasi akan senantiasa berhadapan dengan gerakan mahasiswa.

Hariman Siregar dalam bukunya ‘Gerakan Mahasiswa, Pilar ke 5 Demokrasi’ menjelaskan ciri Gerakan Mahasiswa, yaitu:
1. Bersifat spontanitas
Partisipasi mahasiswa dalam gerakan merupakan respon spontan atas situasi sosial yang tidak sehat, bukan atas ideologi tertentu, melainkan atas nilai-nilai ideal. Namun hal ini bukan berarti tidak ada pendidikan publik di kalangan mahasiswa
2. Bercorak non struktural
Gerakan mahasiswa tak dikendalikan oleh suatu organisasi tunggal, termasuk kepemimpinan komando, melainkan bercorak organisasi cair, dimana otonomi masing-masing basis kampus sangat besar. Agenda aksi dibicarakan secara terbuka dan diputuskan serta diorganisasikan secara kolektif.
3. Bukan agen politik di luar kampus
Gerakan mahasiswa bersifat independen dari kelompok kepentingan tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan ada langkah bersama. ini bisa terjadi lantaran sifat gerakan mahasiswa itu sendiri yang merupakan reartikulator kepentingan rakyat atau gerakan moral
4. Mempunyai jaringan yang luas
Mengingat otonomi masing-masing kampus begitu tinggi, pola gerakan mahasiswa terletak pada jaringan yang dibinanya. Bentuk jaringan menjadi salah satu ciri dari pengorganisasian gerakan mahasiswa. Jaringan yang terbentuk biasanya luwes, sehingga memudahkan untuk bermanuver serta tidak mudah untuk dikooptasi oleh kelompok kepentingan yang bertentangan dengan gerakan moral, termasuk pemerintah.

***********

Pencerahan Moral dan Politik Mahasiswa: Titik Tolak Masifikasi Eskalasi Gerakan Mahasiswa

Ada realitas tak terbantahkan yang menunjukkan tidak semua mahasiswa memiliki ketersadaran dan keterlibatan dengan gerakan mahasiswa. Hal ini disebabkan mahasiswa Indonesia terhinggapi virus pragmatisme dan apatisme. Di sisi lain, sistem pendidikan yang berlaku cenderung mendukung tersebarnya virus pragmatisme dan apatisme karena sepertinya hanya membentuk mahasiswa yang pintar dan terampil serta berorientasi kerja an sich untuk memenuhi permintaan pasar.Virus ini telah sukses menggiring mahasiswa ke sisi tragis mahasiswa. Tragis, karena virus ini telah berhasil “membunuh” atau setidaknya “membonsai” karakter khas mahasiswa, yakni idealisme dan daya kritis.

Maka kita menyaksikan mahasiswa yang terasing dari masyarakatnya, berusaha lulus cepat namun hanya untuk mengisi barisan pencari kerja, tidak peduli dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, individualistis bahkan hedonistis! Mahasiswa seperti inilah yang disebut oleh Hariman Siregar dengan mahasiswa mental kerupuk!.

Mereka mungkin tercerahkan secara akademis/intelektual tapi mereka belum tercerahkan secara moral dan secara politik. Tidak, Saya tidak mengatakan mereka tak bermoral ataupun tak berpolitik. Namun moralitas tersebut pasif, tidak memiliki elan vital yang melahirkan gerak, sebagaimana (mungkin), kalaupun mereka berpolitik, aktivitas politiknya di dasari anggapan bahwa politik itu 100% kotor, jijik dan tidak mungkin ada politik yang bersih.

Dari sinilah dibutuhkan sebuah rekayasa sosial yang konseptual dan sistematis untuk melakukan pencerahan moral dan politik terhadap mahasiswa sehingga mereka menyadari tanggung jawabnya yang bukan sekedar tanggung jawab akademis, namun juga tanggung jawab sosial, tanggung jawab moral, tanggung jawab politis serta tanggung jawab kesejarahan. Keseluruhan tanggung jawab tersebut inheren dalam diri mahasiswa seiring berubahnya status dan identitas menjadi mahasiswa. Ya, keseluruhan tanggung jawab tersebut merupakan konsekuensi identitas mahasiswa.

Lebih dari itu, pencerahan moral dan politik ini akan menghidupkan daya kritis dan idealisme mahasiswa dalam menyikapi pelbagai kejadian serta menumbuhkembangkan semangat perlawanan mahasiswa atas pelbagai penindasan, kesewenang-wenangan, kedzaliman, pelanggaran HAM dan otoriterianisme kekuasaan.

Dari rahim kesadaran, daya kritis, idealisme serta semangat perlawanan inilah terlahir gerakan moral mahasiswa. Gerakan ini eskalasinya akan semakin masif manakala pencerahan moral dan politik yang dilakukan betul-betul konseptual dan sistematis sehingga memiliki daya tular yang cepat dan dahsyat di kalangan mahasiswa.

Dalam tataran praktis, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk melakukan akselerasi pencerahan moral dan politik di kalangan mahasiswa. Metode-metode ini telah terbukti cukup ampuh membangun kesadaran dan daya kritis mahasiswa pada masa lalu dan dirasa efektif untuk sekarang. Diantaranya:
1. menghidupkan kembali mimbar bebas di setiap kampus, baik tingkat universitas, fakultas maupun jurusan.
2. menggalakkan forum-forum diskusi tentang berbagai permasalahan dan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Forum diskusi ini bisa melakukan kajian berdasarkan pandangan disiplin ilmu tertentu, ataupun interdisipliner yang pesertanya berasal dari fakultas, jurusan maupun universitas berbeda
3. mengintensifkan seminar-seminar tentang gerakan moral mahasiswa
4. menghidupkan pers mahasiswa sebagai sarana komunikasi, aktualisasi dan artikulasi gagasan-gagasan brilian serta ide-ide cerdas mahasiswa untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan
5. optimalisasi kegiatan-kegiatan pengkaderan di organisasi-organisasi kemahasiswaan yang diarahkan untuk mencetak kader-kader mahasiswa dan calon pemimpin bangsa yang cerdas, terampil, moralis, religius, kredibel, peduli terhadap permasalahan yang terjadi di sekitar serta memiliki integritas diri yang diakui.
6. memperbanyak penelitian-penelitian ilmiah yang berkaitan dengan problem-problem nyata di masyarakat
7. membangun organisasi-organisasi kemahasiswaan yang layak disebut student government, yang mandiri dalam menentukan sikap tanpa tekanan birokrat atau pihak manapun

Dengan demikian, akan terbentuk generasi baru mahasiswa Indonesia yang tercerahkan, siap menghadapi masa depan dengan penuh optimisme, pemuda ksatria yang akan mengukir sejarah kejayaan yang mempesona. Sungguh, sejarah sedang menunggu-nunggu langkah-langkah mahasiswa Indonesia yang spektakuler…….!

Seruan menuju pencerahan ini harus segera dikumandangkan untuk membangunkan singa-singa mahasiswa yang sedang tidur. Wahai mahasiswa! Sambutlah seruan TOTALITAS PERJUANGAN ini:

Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia

Wahai kalian yang rindu kemenangan…!
Wahai kalian yang turun ke jalan…!
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta


********

GERAKAN POLITIK MAHASISWA

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
…………

Kutipan Lagu “Totalitas Perjuangan” di atas seolah ingin memberitahu kita bahwa sejarah berbagai negara biasanya berbesar hati mengabadikan peran-peran signifikan gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum besar negara tersebut. Namun faktanya, tak sedikit bias sejarah yang menjadikannya tak mampu menangkap gelora semangat, gelombang antusiasme dan aura idealisme yang menyertai pergerakannya yang monumental.

Pergerakan mahasiswa. Sebuah istilah yang dari masa ke masa senantiasa disertai diskursus wacana yang tajam mengenai fungsi dan perannya. Diskursus ini menjadi urgen karena ia akan sangat berkaitan dengan jati diridan karakter pergerakan mahasiswa itu sendiri.

Perdebatan yang terjadi biasanya dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan gerakan mahasiswa, terutama berkaitan dengan karakter pergerakannya, apakah pergerakan mahasiswa adalah gerakan moral atau gerakan politik? Atau kedua-duanya?.

Hariman Siregar (Mantan Ketua BEM UI 1974, tokoh peristiwa Malari) dalam bukunya ‘Gerakan Mahasiswa, Pilar ke 5 Demokrasi’ bersikukuh bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan bukan gerakan politik. Kalau sampai gerakan mahasiswa melakukan pergerakan politik, berarti dia telah keluar dari jati dirinya. Oleh karena itu beliau tidak bersepakat dengan gerakan mahasiswa yang bermain di tataran politik seperti menuntut mundur seorang presiden.

Hal yang berbeda disampaikan Rico Marbun (Mantan Ketua BEM UI yang menuntut Megawati mundur), beliau berpendapat Gerakan Mahasiswa justru merupakan gerakan politik dan tidak perlu takut untuk menegaskan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik ekstra parlementer. Gerakan mahasiswa memiliki tanggung jawab secara politis atas bangsanya yang sedang dalam sakaratul maut, dan mereka dituntut untuk melakukan gerakan politik secara aktif dan masif.

Pandangan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik inilah yang mendasari keterlibatan aktifis mahasiswa Indonesia sebagai anggota legislatif di DPR-MPR pada awal orde baru, Manuver tersebut ternyata dianggap gagal dan justru menimbukan konflik internal pergerakan mahasiswa. Selain itu pandangan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik juga mendasari munculnya wacana “potong generasi” dan “Junta Muda Mahasiswa” yang disuarakan beberapa elemen pergerakan mahasiswa Indonesia. Wacana ini berkembang berkaitan dengan kemungkinan (bahkan keharusan) generasi muda, terutama mahasiswa untuk mengambil alih kekuasaan karena golongan tua yang hari ini memimpin dianggap memilik dosa-dosa masa lalu yang menjadikan mereka gagu dan gagap melakukan reformasi dalam rangka transisi demokrasi.

Perbedaan pandangan tentang karakter pergerakan mahasiswa ini terkadang menajam dan menyebabkan konflik di kalangan aktifis mahasiswa itu sendiri. Para penganut gerakan moral an sich biasanya menuduh aktifis yang melakukan gerakan politik sebagai komparador partai politik tertentu, ditunggangi kepentingan politik tertentu dan lain-lain. Sebaliknya, Para aktifis yang meyakini gerakan mahasiswa bukan hanya gerakan moral, tapi juga gerakan politik biasanya menganggap orang-orang yang tidak terlibat bersama mereka sebagai apatis, apolitis dan lain-lain. Konflik-konflik di kalangan mahasiswa seperti ini masih sering terjadi sampai sekarang.

Gerakan Politik Nilai VS Gerakan Politik Kekuasaan

Sebenarnya, ada titik temu di antara dua aliran di atas karena kedua-duanya juga meyakini gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang universal. Perbedaan terjadi berkaitan dengan gerakan politik yang dilakukan mahasiswa. Apakah itu sesuai dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa?

Perbedaan pandangan di atas menyebabkan mahasiswa terpolarisasi dalam dua kutub yang berlawanan. Karena itu kita perlu melakukan redefinisi paradigma baru pergerakan mahasiswa dalam rangka rekonstruksi jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa Indonesia, dan sebagai upaya rekonsiliasi antar kubu sekaligus langkah awal konsolidasi pergerakan mahasiswa Indonesia yang hari ini terkotak-kotak.

Kalau kita menganalisis secara jujur, aktifitas pergerakan mahasiswa seperti demonstrasi, orasi, seminar, kongres, pernyataan sikap, tuntutan dan lain-lain, sebenarnya merupakan aktifitas politik. Semua itu merupakan sarana komunikasi politik lisan dan tulisan. Jadi secara jujur tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik. Namun, gerakan politik seperti apakah yang layak dimainkan pergerakan mahasiswa? Apa yang membedakannya dengan partai politik?
Ada konsep menarik yang akhir-akhir ini mencuat dan Saya melihatnya sebagai alternatif yang cerdas. Hal ini berkaitan dengan mencuatnya konsep Gerakan Politik Nilai (value political movement) dan Gerakan Politik Kekuasaan (power political movement).

Gerakan Politik Nilai (value political movement) adalah gerakan yang berorientasi terciptanya nilai-nilai ideal kebenaran, keadilan, humanisme (kemanusiaan), profesionalitas dan intelektualitas dalam seluruh aspek pengelolaan negara. Sedangkan gerakan politik kekuasaan (power political movement) merupakan gerakan politik untuk mencapai kekuasaan seperti yang dilakukan oleh partai-partai politik.
Gerakan mahasiswa sebagai gerakan Politik Nilai (value political movement) ini tidak mempedulikan siapa yang berkuasa, karena siapa pun yang berkuasa akan menjadi sasaran tembak ketika melakukan penyimpangan. Ia tidak berkepentingan mendukung seseorang untuk menjadi penguasa, tapi siapa pun penguasa yang otoriter akan berhadapan dengan gerakan mahasiswa.

Hal tersebut jelas berbeda dengan ketika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan (power political movement), karena ia sangat mempedulikan siapa yang berkuasa dan senantiasa berusaha merebut kekuasaan itu, atau berusaha terus mempertahankan kekuasaan itu ketika ia menjadi penguasa atau membela organisasi/partai yang menjadi patronnya ketika menjadi penguasa.

Gerakan politik nilai mahasiwa bersifat independen, tidak mendukung calon penguasa dan tidak masuk ke dalam sistem pemerintahan atas nama pergerakan mahasiswa, karena dengan demikian fungsi controlnya hilang, selain itu ada tugas utama mahasiswa yang akan terbengkalai, yakni belajar. Namun, ketika secara nilai Gerakan ini lebih memainkan fungsinya sebagai social control dan social pressure terhadap kekuasaan. Kalaupun gerakan menukik menjadi tuntutan mundur penguasa, itu didasari standar nilai yang jelas bahwa pemerintah sudah tak mampu dan bukan dalam rangka menaikkan seseorang menjadi penggantinya.

Gerakan politik kekuasaan biasanya tidak independen karena kepentingannya sempit: kekuasaan. Jika gerakan mahasiswa menjadi gerakan politik kekuasaan, maka bukan merupakan hal yang tabu untuk mengatasnamakan aktifis gerakan mahasiswa dalam rangka mendukung calon penguasa (seperti yang dilakukan Rico Marbun dkk dengan terang-terangan mendukung Jenderal Wiranto dari Partai Golkar sebagai calon Presiden dalam pemilu 2004), atau masuk ke dalam sistem (seperti para penganut “junta muda mahasiswa”, dan seperti aktifis mahasiswa di awal orde baru yang menjadi anggota parlemen atas nama perwakilan mahasiswa), atau membela penguasa/partai yang merupakan patronnya (seperti CGMI yang membela PKI di tahun 1966).

Saya sepakat dengan pandangan gerakan mahasiswa selain sebagai gerakan moral, juga merupakan gerakan politik nilai dan bukan gerakan politik kekuasaan. Gerakan politik kekuasaan merupakan area concern partai politik dan bukan untuk gerakan mahasiswa. Jika ada aktifis mahasiswa yang bermain dalam area tersebut, seharusnya tidak mengatasnamakan gerakan mahasiswa, tapi lebih baik bergabung dalam partai politik. Gerakan politik nilai memang bersentuhan dengan aktifitas-aktifitas politik, menggunakan berbagai sarana komunikasi politik, dan memiliki target-target politik, tapi bukan berkaitan dengan perebutan kekuasaan.

Memang dengan demikian, gerakan mahasiswa akan tampak seperti koboy pahlawan yang datang ke kota untuk memberantas bandit-bandit dan penjahat. Setelah bandit-bandit itu kalah, Sang Koboy kembali pulang ke padang rumput. Mahasiswa akan turun ketika menyaksikan rakyat terdzalimi oleh bandit-bandit penguasa dan kembali ke kampus untuk belajar setelah rezim itu “dihajar” dan diberi pelajaran.

Lalu, bagaimana sesudah itu? Siapa yang akan memimpin kota sepeninggal sang Koboy? Siapa yang akan memimpin negeri setelah Sang diktator turun?. Di sinilah rumitnya. Yang pasti itu bukan tugas sang Koboy muda, ia masih harus belajar sehingga suatu saat nanti sampai masanya dia memimpin kota. Itu bukan tugas gerakan mahasiswa, ia masih punya tugas akademis dan pembelajaran kaderisasi kepemimpinan di kampus yang menjadikannya siap untuk suatu saat menjadi para pemimpin masyarakat yang memiliki konsistensi idealisme seperti ketika masih di kampus.

Masalah kekuasaan lebih merupakan tugas partai politik. Gerakan mahasiswa hanya bertanggung jawab mengontrol dan mengawal transisi dan developmentasi demokrasi supaya tetap pada relnya, terlepas dari siapa yang berkuasa. Dalam pelaksanaannya bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk berkordinasi dengan partai politik, LSM dll ketika lembaga-lembaga tersebut menjunjung nilai-nilai moral universal seperti gerakan mahasiswa.

Meskipun demikian, ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan menggelitik. Mungkinkah terjadi suatu kondisi luar biasa memaksa keterlibatan mahasiswa untuk terjun menjadi para pemimpin negara? Menurut Saya mungkin-mungkin saja, hanya mereka harus siap dengan konsekuensi seperti yang disampaikan Imam Syafi’I : “Apabila orang muda terlalu cepat tampil menjadi pemimpin, maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk ilmu!”. Meskipun demikian, bukan hal yang mustahil seorang muda mengakselerasi kematangannya melalui tradisi ilmiah dan pergolakan social yang kental.

Tugas inti kita sekarang, bagaimana mengoptimalkan keseluruhan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi intelektual akademisi, fungsi cadangan masa depan (iron stock), fungsi agen perubah (agent of change) dll. Kata kuncinya adalah menjadi pembelajar sejati, sehingga mahasiswa mampu memiliki kedewasaan yang jauh meninggalkan umurnya dan pandangan-pandangan yang jauh meninggalkan zamannya. Sehingga kita senantiasa siap memenuhi panggilan kehidupan untuk menoreh sejarah kepahlawanan sebagai pemimpin sejati!.

Tuesday, January 11, 2005

GERAKAN MAHASISWA PEDULI ACEH

Acehku Sayang Acehku Malang

Apa yang beda dari tahun baru 2005 bagi bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia, bahkan dunia, menangis menyaksikan serambi Mekah dilanda gempa 8,9 skala richter dan dihantam gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan kota dan penduduknya. Lebih dari 100.000 orang meninggal dunia, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan sampai di atas tiang listrik, rumah-rumah dan perkantoran hancur, ribuan anak menjadi yatim, ribuan wanita menjadi janda dan lain-lain. Ya, hari-hari ini hanya ada tangis dan duka nestapa untuk Aceh.

Musibah ini dinyatakan sebagai musibah terdahsyat abad ini. Dunia terperangah melihat dampak luar biasa dari gempa dan gelombang Tsunami yang melanda Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya. Bahkan Menlu AS Collin Powell mengaku ngeri saat menyaksikan langsung kondisi Meulaboh melalui helicopter, padahal ia sudah menyaksikan berbagai kejadian peperangan dan bencana dengan korban tak sedikit di berbagai Negara, tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan musibah di Aceh.

Dan tiba-tiba, musibah ini menghentak nurani bangsa dan dunia. Nuansa spiritualitas dan kemanusiaan menyeruak menggedor kesadaran manusia yang selama ini terlena dengan kepentingan diri dan dunia. Individualisme dan dunia menjadi ciut di hadapan kuasa Tuhan Yang Maha Perkasa.

Apakah ini adzab atau ujian? Bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh, jelas ini adalah ujian untuk mengetahui mana yang sabar dan mana yang lemah iman. Ini bisa menjadi sarana introspeksi diri dan bangsa bahkan dunia. Ini juga bisa menjadi salah satu bentuk kerinduan Tuhan untuk segera berjumpa dengan hamba-hamba yang dicintai-Nya.

Sedangkan bagi para pendurhaka, jelas ini merupakan adzab bagi orang-orang yang selama ini mengotori Serambi Makah dengan dosa dan maksiat. Ini bisa jadi adzab Tuhan untuk para pelanggar HAM di Aceh, pembunuh masyarakat tak berdosa, pemerkosa wanita, pengedar ganja dan sebagainya.

Kejadiannya sama: Gempa dan Tsunami, tapi tidak bisa menggeneralisir bahwa itu adzab untuk masyarakat Aceh. Apa dosa bayi dan anak-anak kecil yang ketika mayatnya dijajarkan tampak seperti tertidur dengan lucunya? Apa dosa para da’i yang tak pernah lelah siang malam mengajak masyarakat kepada Sang Pencipta? Yang malamnya penuh kekhusyukan bermunajat kepada-Nya? Para ulama yang ketika menyaksikan jenazahnya, tampak tersenyum penuh kegembiraan? Bagi orang-orang seperti ini, Insya Allah kejadian ini merupakan ujian, bahkan bentuk kasih sayang Sang Pencipta.

Gerakan Mahasiswa: Quo Vadis?

Gempa dan Tsunami Aceh adalah sepenggal realita yang melahirkan solidaritas umat sedunia. Kejadian ini menjadi perhatian dunia dan lembaga-lembaga internasional. Bantuan mengalir dengan deras dari berbagai penjuru dan dari berbagai kelompok orang, apapun agamanya dan bagaimanapun kondisi finansialnya.

Ketika FKDF Unpad menghimpun dana untuk Aceh di gerbang Unpad Jatinangor, Saya berjumpa dengan seorang pengamen anak jalanan yang bercerita, “Kalau untuk seperti Aceh, Saya juga ikut nyumbang tadi meskipun hanya Rp.500,00!”. Ia juga bersedia bersama kami untuk menghimpun dana di bis yang lewat. Dia bernyanyi dan kemudian dana yang terkumpul diserahkan untu Aceh. Luar biasa! Saya hampir menangis mendengarnya. Anak jalanan yang sebenarnya mereka juga membutuhkan, ternyata memiliki empati luar biasa untuk saudaranya di Aceh.

Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang jauh lebih beruntung dari anak jalanan tadi? Apakah mahasiswa memiliki kepedulian yang (minimal) setara dengan anak tadi? Apakah mahasiswa Indonesia juga ikut berpartisipasi membantu saudara-saudaranya di Aceh?

Lebih spesifik lagi, pertanyaan ini perlu ditujukan kepada para aktifis kemahasiswaan yang menjadi motor pergerakan mahasiswa di Indonesia, Apa yang telah dilakukan gerakan mahasiswa dengan kejadian ini? Apakah gerakan mahasiswa tetap asyik masyuk dengan isu-isu politik an sich? Dan apa yang sebaiknya dilakukan gerakan mahasiswa berkaitan dengan masalah ini?

Saya sengaja ingin menyoroti gerakan mahasiswa karena kalau mahasiswa secara umum sudah jelas antusiasme mereka untuk membantu saudara-saudara mereka di Aceh. Mereka dengan suka rela mengumpulkan dana, makanan, pakaian layak pakai dan tentunya doa.

Mengapa gerakan mahasiswa? Karena jika pengelolaan isu Aceh ini terorganisir rapi se-Indonesia akan menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar. Ini memang bukan masalah politik, karena memang terlalu naif jika menganggap gerakan mahasiswa hanya berkaitan dengan masalah politik saja. Gerakan mahasiswa memang sebuah gerakan politik nilai, tapi ia juga adalah gerakan moral, gerakan intelektual, gerakan cinta lingkungan, bahkan gerakan social.

Secara kelembagaan, kita sudah menyaksikan peran-peran mahasiswa secara riil di kampus masing-masing serta di Aceh langsung. Di kampus masing-masing, lembaga kemahasiswaan memiliki legitimation power untuk menghimpun dana dari mahasiswa dan mendapat kepercayaan juga dari masyarakat untuk menyalurkan dana untuk korban bencana.

Dana dan bantuan dari mahasiswa serta masyarakat telah diorganisir secara resmi oleh lembaga kemahasiswaan tingkat Universitas, Fakultas dan jurusan. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), BEM/SEMA Fakultas dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) semuanya telah bergerak. Bahkan bukan hanya lembaga kemahasiswaan intra kampus, elemen ekstra kampus juga bergerak seperti KAMMI, HMI, IMM, PMII dan sebagainya.

Di Universitas Padjadjaran, BEM KEMA Unpad bekerja sama dengan BEM/SEMA Fakultas mengumpulkan dana untuk Aceh, hanya saja dana yang terkumpul diprioritaskan untuk mahasiswa Unpad asal Aceh yang membutuhkan. UKM dan FKDF juga bergerak menghimpun dana dan disalurkan melalui lembaga yang dapat dipercaya seperti BSMI, Media Indonesia dan lain-lain. Beberapa mahasiswa Unpad sudah berangkat sebagai relawan ke Aceh dari berbagai jalur. SAR UNPAD juga mengirimkan relawan ke Aceh.

Pihak rektorat Universitas Padjadjaran memberikan bantuan untuk mahasiswa asal Aceh. Hanya saja belum jelas apakah gratis SPP atau ditangguhkan? Kalau gratis SPP, apakah hanya semester ini saja atau selama kuliah di Unpad? Informasi di kalangan mahasiswa masih simpang siur. Sepertinya, BEM Unpad perlu bergerak mengadvokasi mahasiswa Aceh sehingga mereka mendapat kejelasan dan jaminan bisa kuliah sampai beres di Universitas Padjadjaran.

Di Institut Teknologi Bandung, lembaga kemahasiswaan juga bergerak menghimpun dana dan menyalurkannya. Mereka meminta kantin di ITB bisa gratis khusus mahasiswa asal Aceh. KM ITB mengirimkan relawan ke Aceh dengan dukungan dana juga dari rektorat. Resimen Mahasiswa ITB pun telah mengirimkan relawan dari anggota terbaiknya ke Aceh.

STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) tak mau kalah dalam kebaikan. Mereka mengirimkan relawan dari praja STPDN ke Aceh untuk membantu masyarakat Aceh secara langsung. Hanya saja, ada informasi mereka ditembaki GAM. Kemungkinan terjadi salah paham, mereka dianggap seperti TNI karena potongan rambut cepak mereka.

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengirimkan relawannya ke Aceh. Mereka memasang instalasi air bersih di dekat Rumah Sakit di Aceh sesuai dengan kemampuan mereka. Sebelum pemasangan instalasi air bersih itu, mahasiswa dari BEM UI sempat bersitegang dengan tentara dari Australia yang menolak pemasangan instalasi air bersih itu karena dianggap kurang canggih.

Badan Eksekutif Mahasiswa di Medan mengirimkan relawannya pada awal-awal bencana di Aceh, bahkan Ketua BEMnya langsung ke tempat kejadian. BEM di Yogyakarta juga ada yang mengirimkan relawan ke Aceh. Di Bandung sendiri, mahasiswa dari berbagai kampus bekerja sama dengan Shafira dan Serikat Karyawan Telkom berencana mengirimkan relawan ke Aceh untuk membuat dapur umum dan penyediaan air bersih. Gerakan ini didukung oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Bandung Raya. Sekarang tim advance dari mahasiswa masih berada di Aceh dan Medan.

Aceh: Agenda Gerakan Mahasiswa Indonesia 2005

Semua lembaga kemahasiswaan di Indonesia hari-hari ini memang sudah semua bergerak, hanya saja masih bergerak sendiri-sendiri dan belum terkordinasikan dengan baik dari segi isu dan praksisnya. Maka gerakan mahasiswa perlu merumuskan kebutuhan dan solusi-solusi kongkret yang bisa di lakukan mahasiswa untuk Aceh. Penanggulangan masalah Aceh tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, setidaknya butuh waktu minimal tujuh bulan untuk kembali pulih.

Agenda gerakan mahasiswa haruslah tepat sasaran dan sesuai kebutuhan serta kemampuan mahasiswa. Gerakan ini juga diharapkan menjadi sarana aplikasi ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah. Gerakan ini juga harus mampu bekerja sama dengan semua elemen bangsa karena mahasiswa tidak mungkin bisa bekerja sendirian.

Berikut ini adalah tawaran agenda kepada gerakan mahasiswa Indonesia, baik intra kampus (Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia) maupun ekstra kampus (HMI, KAMMI, PMII, IMM, GMNI, FMN, dll). Sudah saatnya gerakan mahasiswa kembali bersatu dan menghilangkan sekat-sekat yang hari ini menjadikan gerakan mahasiswa terpolarisasi.
Agenda Gerakan Mahasiswa yang dimaksud adalah:
1. Advokasi Mahasiswa Aceh
Gerakan mahasiswa harus memperjuangkan kesejahteraan mahasiswa asal Aceh yang keluarganya menjadi korban bencana. Pastikan mereka tetap belajar sampai beres di kampus sehingga mereka siap kembali ke Aceh untuk membangun daerahnya. Pastikan mereka mendapat fasilitas SPP gratis dan biaya untuk kehidupan sehari-hari (makan, kostan dll). Kalau perlu, gerakan mahasiswa mendesak Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Pemuda dan Olahraga untuk mengeluarkan kebijakan khusus untuk membantu mahasiswa asal Aceh.
2. Pengiriman tenaga medik
Pasca gempa dan Tsunami sangat dimungkinkan muncul bencana baru berupa wabah penyakit. Dibutuhkan tenaga medis untuk menangani masalah ini. Mahasiswa fakultas kedokteran, keperawatan dan Farmasi bisa terlibat dalam masalah ini dengan esamese dari dokter dan apoteker.
3. Pendirian Trauma Center
Penduduk Aceh mengalami musibah yang tidak hanya meluluh lantakkan fisik kota dan tubuh, tapi juga mengguncang struktur psikologis mereka. Mereka menyaksikan bencana, melihat mayat-mayat keluarga mereka, kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan tempat tinggal dan sebagainya. Mereka mengalami stress, depressi dan trauma (post traumatic disorder). Dibutuhkan tenaga psikolog dan psikiater dalam jumlah yang banyak untuk membantu mereka. Mahasiswa Psikologi dan Kedokteran bisa ikut terlibat dengan tetap disupervisi oleh psikolog dan psikiater. Program ini tidak bisa dilaksanakan sendirian. Gerakan mahasiswa harus bekerja sama dengan HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia) dan ikatan profesi kedokteran jiwa.
4. Pembangunan instalasi air bersih
Air permukaan di Aceh pasca bencana jelas-jelas tidak bisa digunakan segera karena bercampur dengan air laut dan sisa-sisa mayat manusia serta binatang. Dibutuhkan tenaga-tenaga ahli teknik untuk membangun instalasi air bersih. Mahasiswa dari Fakultas Teknik bisa berperan dalam program ini. Pengadaan peralatan pembersih air bisa bekerja sama dengan kedutaan besar Amerika Serikat dan Jepang yang memberikan bantuan kepada Indonesia berupa peralatan pembersih air untuk Aceh.
5. Pengiriman relawan guru
Aktifitas pendidikan terhenti di Aceh karena sarana dan prasarana rusak. Kita semua sepakat, pendidikan memainkan peran signifikan dalam pembangunan sebuah daerah, oleh karena itu recoveri aktifitas pendidikan untuk anak-anak Aceh perlu segera dilaksanakan. Dibutuhkan relawan dalam jumlah yang besar untuk mengajar anak-anak Aceh. Mahasiswa dari perguruan tinggi kependidikan dan keguruan (seperti UPI, UIN dll) bisa berperan optimal dalam program ini. Kalau perlu desak pihak Universitasnya supaya ada program pengiriman guru esam di Aceh. Bahkan, kalau bisa secara resmi menjadi program Praktek Kerja Lapangan dengan mengajar di Aceh dan merupakan bagian dari tugas kuliah yang harus dilaksanakan mahasiswa.
6. Program Kakak Asuh
Masyarakat Aceh tidak bisa semuanya serta merta bekerja seperti semula sehingga mereka memiliki penghasilan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mahasiswa bisa menggagas program kakak asuh untuk anak-anak Aceh. Tidak perlu mengadopsi mereka karena akan lebih baik mereka tidak keluar Aceh sehingga tidak tercerabut dari akar budayanya. Mahasiswa hanya mengumpulkan dana untuk membiayai pendidikan adik-adik kita di Aceh. Program ini perlu dikelola secara professional sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada public. Dalam pelaksanaannya bisa bekerja sama dengan LSM-LSM terpercaya yang memiliki program serupa.
7. Pengiriman Pembimbing keagamaan
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat religius. Pada saat bencana, banyak para ulama dan tokoh agama yang meninggal dunia. Dibutuhkan orang-orang yang memahami agama untuk membimbing masyarakat di Aceh. Mahasiswa yang menguasai ilmu agama bisa berperan dalam program ini, terutama mahasiswa dari perguruan tinggi keagamaan seperti IAIN, LIPIA, Sekolah Theologi dan sebagainya. Mereka diharapkan memberikan bimbingan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh yang plural.
8. Dapur Umum
Dapur umum masih diperlukan sampai beberapa bulan ke depan, baik untuk masyarakat maupun untuk para relawan. Mahasiswa yang memiliki keahlian memasak atau belajar tata boga bisa berpartisipasi dalam program ini
9. Pemberdayaan struktur pemerintahan
Aktifitas pemerintahan belum bisa berfungsi 100% karena SDM yang minim serta sarana prasarana belum memadai. Mahasiswa Fisip dan mahasiswa kedinasan seperti praja STPDN, AIS, AKMIL dan sebagainya bisa berperan optimal membantu proses pelayanan masyarakat di sana dengan terlibat di pemerintahan daerah sampai desa di Aceh.
10. Pemberdayaan ekonomi
Aktifitas ekonomi pasca bencana membutuhkan tangan-tangan professional dan ahli untuk membangun ekonomi masyarakat Aceh. Mahasiswa dari setiap fakultas dan jurusan bisa terjun membantu masyarakat Aceh sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing. Mahasiswa Fakultas Pertanian bisa membantu masyarakat kembali bercocok tanam dengan teknologi pertanian yang melipatgandakan hasilnya, mahasiswa fakultas peternakan bisa mengajarkan teknologi peternakan yang produktif dan memiliki potensi financial yang baik dan sebagainya
11. Program lain yang disesuaikan dengan karakteristik dan disiplin ilmu masing-masing dan memberi manfaat untuk masyarakat Aceh. Dan lain-lain.

Ini adalah tawaran agenda untuk mahasiswa Indonesia yang diharapkan mampu memberi kontribusi riil kepada bangsa ini. Mahasiswa Indonesia memang sudah bekerja untuk membantu Aceh dan bangsa ini. Hanya saja sekarang yang dibutuhkan bukan hanya sama-sama bekerja, tapi juga harus bekerja sama secara sinergis esame mahasiswa dan juga dengan seluruh elemen bangsa demi Aceh dan Indonesia yang lebih baik.