Thursday, September 14, 2006

"Quo Vadis" Rektor Universitas Padjadjaran?

(Harian Pikiran Rakyat Edisi 31 Agustus 2006)
Oleh: Indra Kusumah SKL
SENAT Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) telah memilih tiga nama sebagai kandidat yang diajukan kepada Mendiknas. Selanjutnya, Mendiknas akan menetapkan salah satunya untuk menjadi rektor. Namun, berbagai isu dan wacana seputar pemilihan rektor masih menjadi pembicaraan hangat keluarga besar Unpad.
Pemilihan rektor ini memang memiliki makna penting bagi segenap keluarga besar Unpad setidaknya disebabkan dua hal.
Pertama, rektor merupakan jabatan puncak di kampus dengan kewenangan sehingga menentukan maju mundurnya, Unpad di masa depan. Berbagai kebijakan strategis di Unpad menjadi kewenangan seorang Rektor. Kesalahan kebijakan yang diambil bisa merugikan ribuan karyawan dan lebih dari 40.000 mahasiswa, bahkan bisa berdampak terhadap masyarakat dan dunia pendidikan di Indonesia. Demikian pula, kebijakan yang tepat akan dirasakan manfaatnya oleh keluarga besar Unpad, masyarakat, Indonesia, bahkan dunia.
Kedua, pemilihan rektor kali ini terjadi ketika Unpad sebagai institusi sedang mengalami masa transisi menuju BHPT (Badan Hukum Pendidikan Tinggi). Unpad sedang mengalami pencarian bentuk final badan hukum pendidikan (BHP) yang sesuai dengan jati dirinya, apakah ia akan menjadi kampus kerakyatan atau kampus komersialisasi pendidikan? Di setiap institusi, transisi merupakan masa yang menentukan masa depan. Dalam setiap masa transisi, kepemimpinan merupakan faktor yang menentukan.

Dengan urgensi pemilihan rektor Unpad seperti ini, Saudara Oky Syeiful Rahmadsyah Harahap membuat tulisan berjudul "Tantangan untuk Rektor Unpad" yang dimuat Pikiran Rakyat tanggal 12 Agustus 2006. Sayangnya tulisan tersebut kurang menggambarkan refleksi kepemimpinan Rektor saat ini secara objektif dan kurang menggambarkan jaminan arah kepemimpinan Unpad di masa yang akan datang supaya lebih baik.

Era Himendra

Ketika membuat rancangan masa depan, maka refleksi dan evaluasi masa lalu, dan analisis kekuatan-kelemahan-kesempatan-ancaman (SWOT) hari ini harus dilakukan secara terpadu. Mimpi tentang Unpad masa depan harus disandingkan pula dengan evaluasi Unpad sebelumnya sampai hari ini, terutama di era kepemimpinan Prof. Himendra Wargahadibrata.

Prof. Himendra memimpin Unpad ketika Indonesia mengalami transisi demokrasi. Di zaman ini reformasi pendidikan digaungkan demi terciptanya pendidikan Indonesia yang lebih baik. Berbagai produk peraturan dan perundangan yang lahir dan terkait reformasi pendidikan, menuntut Unpad untuk menyesuaikan diri dengan dinamika yang terjadi secara tepat.

Di antara produk peraturan yang mengubah wajah pendidikan tinggi di Indonesia adalah PP No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 61 tahun 1999 yang terkait dengan PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara), UU No. 20 Tentang Sisdiknas, dan RUU BHP (Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) yang sekarang dalam pembahasan di DPR. Menyikapi peraturan tersebut, keputusan Rektor Unpad untuk menolak tawaran menjadi pilot project PT BHMN sebagai konsep baru dalam pendidikan Indonesia merupakan keputusan yang tepat karena ternyata sebagian besar kampus yang menjadi pilot project PT BHMN mengalami lebih banyak masalah dibandingkan keuntungan karena belum siap, selain tentunya disebabkan belum adanya peraturan perundangan yang jelas dan kuat terkait PT BHMN.

Sikap hati-hati dan lebih mengutamakan persiapan merupakan kebijakan yang diambil Prof. Himendra. Kebijakan ini dalam perjalanannya ternyata memiliki manfaat positif, namun dalam beberapa hal mengundang pertanyaan dan kritik berbagai pihak.

Dari aspek jaringan, Unpad memiliki koneksi internasional. Hal ini adalah dampak dari road show Rektor Unpad ke berbagai universitas terkemuka di berbagai negara Asia dan Eropa. Unpad membuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan berbagai kampus terkemuka di dunia dengan posisi setara.

Sistem informasi manajemen berbasis teknologi tinggi mulai dikembangkan di Unpad. Hanya saja, hal tersebut belum diaplikasikan secara optimal sehingga pelayanan prima belum dirasakan semua mahasiswa Unpad.

Dalam hal finansial, Unpad menyatakan sudah siap untuk otonomi kampus dengan menjadi BHPT (Badan Hukum Pendidikan Tinggi). Memang dalam masalah finansial sepertinya Unpad termasuk yang paling siap dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri (PTN) lainnya. Hanya saja, hal ini terjadi disebabkan beberapa kebijakan yang menjadi kritik dan sorotan berbagai pihak, terutama mahasiswa Unpad.

Kesiapan secara finansial ini disebabkan total pembiayaan yang harus dibayar mahasiswa Unpad tiap semester hari ini hampir menyaingi beberapa kampus yang sudah berstatus PT BHMN, bahkan ada beberapa fakultas yang pembiayaan nominal per semester lebih besar dibandingkan dengan kampus-kampus yang sudah PT BHMN. Selain itu, pembukaan berbagai jalur di luar SPMB yang mematok harga tinggi di awal masuk (untuk Fakultas Kedokteran sampai Rp 120.000.000,00) menjadi sumber pemasukan yang melimpah. Dibandingkan dengan PTN lain yang belum berstatus PT BHMN, pembiayaan di Unpad hari ini tergolong tinggi.

Meskipun demikian, rektor memberikan jaminan kepada mahasiswa tidak mampu untuk bisa menikmati pendidikan di Unpad dengan kebijakan subsidi silang. Jaminan rektor ini sangat membantu bagi mahasiswa yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hanya saja, mekanisme dan prosedur sebagai realisasi jaminan rektor ini belum tersosialiasikan secara merata, sehingga setiap tahun masih ada saja mahasiswa yang kebingungan untuk meneruskan kuliah disebabkan kekurangan biaya.

Usaha peningkatan fasilitas terlihat dengan pengadaan peralatan-peralatan pendidikan serta pembangunan beberapa gedung baru di Jatinangor dan Dipatiukur. Sayangnya, peningkatan fasilitas terkesan didominasi fakultas-fakultas tertentu dan belum merata di semua fakultas. Masih muncul keluhan mahasiswa yang kuliah berdesak-desakan sampai meluber ke luar kelas serta belum terpenuhinya peralatan praktikum secara optimal. Angkutan dalam kampus mulai ada yang gratis namun masih ada juga yang dikomersialkan.

Di bidang kemahasiswaan, periode kepemimpinan Prof. Himendra Wargahadibrata mulai mengakomodasi aspirasi mahasiswa dengan berdirinya Kema Unpad (Keluarga Mahasiswa Unpad) sebagai lembaga kemahasiswaan yang menaungi semua lembaga kemahasiswaan di Unpad, setelah hampir sewindu mahasiswa Unpad tidak memiliki lembaga kemahasiswaan tingkat universitas seperti kampus lainnya di Indonesia.

Namun, pelaksanaan prinsip "dari, oleh dan untuk mahasiswa" dalam pengelolaan kegiatan kemahasiswaan masih terkesan setengah hati, karena belum mencakup pengelolaan dana kemahasiswaan dan masih ada kegiatan kemahasiswaan yang dilaksanakan rektorat bidang kemahasiswaan.

Rektor ideal

Namun kerja belum selesai, harus ada penerus yang tidak memulai lagi dari awal dan siap bekerja secara konstruktif dengan mempertahankan dan meningkatkan aspek-aspek positif periode sebelumnya dan mengeliminasi aspek-aspek negatifnya.
Dibutuhkan rektor yang kuat dan visioner, karena ia akan bekerja di masa transisi yang sangat rawan dan menentukan. Kemampuan analisis masa depan sekaligus manajemen perubahan yang handal mutlak diperlukan Rektor Unpad yang akan datang. Selain itu, kemampuan sosial pun wajib dimiliki demi membangun komunikasi yang cerdas, elegan, dan egaliter dengan semua pihak yang terkait dengan universitas seperti dosen, karyawan, dan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 40.000 orang. Rektor yang bekerja untuk kemajuan Universitas, dan bukan untuk kemajuan fakultas asalnya saja, karena ia milik keluarga besar Unpad.

Hari ini Unpad sedang bermetamorfosis, dunia sedang menunggu wajah Unpad yang sebenarnya di bawah kepemimpinan rektor baru, apakah ia kampus kerakyatan ataukah kampus komersialisasi pendidikan?

Kontrak sosial

Masih ada jarak terbentang antara idealita dan realita. Masih ada ketidakpastian tentang masa depan Unpad. Keluarga besar Unpad, terutama mahasiswa sebagai mayoritas seyogyanya bergerak menikahkan idealita dengan realita demi kemajuan Unpad di masa yang akan datang.
Mahasiswa Unpad berhak untuk mengajukan tawaran konsep dan agenda reformasi Unpad kepada para calon Rektor Unpad. Bahkan, seyogiyanya hal itu tertuang dalam kesepakatan tertulis atau yang biasa disebut kontrak sosial. Hal ini dilakukan supaya rektor terpilih tidak hanya diberi cek kosong, tapi sejak awal mengetahui keinginan dan aspirasi mahasiswa.

Agenda reformasi Unpad ini seharusnya mencakup aspirasi mahasiswa kepada calon rektor. Isinya bisa terkait dengan demokratisasi kampus, transparansi, pelayanan prima, konsistensi pelaksanaan prinsip "dari, oleh dan untuk mahasiswa" dalam pengelolaan kegiatan kemahasiswaan, komitmen budaya elegan dan egaliter, dan lain-lain.

Kontrak sosial ini bisa diajukan oleh mahasiswa sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang memiliki hak suara dalam pemilihan rektor. Bahkan, ketika sekarang sudah terpilih tiga calon dan diajukan ke Departemen Pendidikan Nasional, mahasiswa pun bisa mengajukan tuntutan kepada Presiden RI dan Mendiknas untuk menetapkan rektor yang komitmen dengan agenda reformasi Unpad yang diajukan mahasiswa.

Kontrak sosial agenda reformasi Unpad tersebut bisa menjadi bukti komitmen rektor terpilih, tingkat kedekatan dengan mahasiswa dan dokumentasi yang menjawab pertanyaan besar di kepala keluarga besar Unpad hari ini: quo vadis (mau ke mana) Rektor Unpad?***

Penulis, mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unpad periode 2005-2006 dan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi.