Saturday, February 11, 2006

Presiden SBY Disambut Unjuk Rasa

#Berita Harian Pikiran Rakyat 10 Februari 2006#

BANDUNG, (PR).-
Kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung Merdeka Bandung, Kamis (9/2), disambut gelombang aksi unjuk rasa dari berbagai elemen. Aksi berlangsung di tiga lokasi yakni Jln. Braga, Jln. Naripan, dan Jln. Lengkong.

Namun, gelombang massa pendemo gagal mendekati Gedung Merdeka di Jln. Asia-Afrika, karena pengamanan yang cukup ketat, baik dari aparat kepolisian maupun ormas yang turut membantu pengamanan. Sehingga, para pengunjuk rasa terpaksa berorasi di luar kawasan Gedung Merdeka, lokasi kegiatan puncak HPN 2006 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Aksi di Jln. Lengkong yang berbatasan dengan Jln. Asia Afrika dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Bandung Raya serta Serikat Pekerja FKK PT Dirgantara Indonesia. Aksi mereka yang membawa sebuah mobil sebagai tempat orasi mendapat pengamanan ekstra ketat. Bahkan, sebelum aksi dibubarkan, sejumlah pengunjuk rasa dan mobil yang digunakan dibawa aparat kepolisian. Dalam aksi itu, polisi menangkap empat pengunjuk rasa dan dibawa ke Mapolwiltabes Bandung.

Aksi unjuk rasa di Jln. Braga dilakukan Lingkar Mahasiswa Bandung Raya (Lima Bara). Mereka membawa spanduk panjang yang kemudian direntangkan di sepanjang jalan itu. Dalam aksinya, mereka menolak rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) tahun 2006 yang dianggap akan membuat rakyat sengsara.

Dalam pernyataan yang dibagi-bagikan, Lima Bara menya­takan, kenaikan TDL membuktikan bahwa pemerintahaan saat ini tidak berpihak kepada rakyat.

"Kerugian PLN dari tahun ke tahun seolah akan dibebankan kepada rakyat. Padahal, PLN semestinya mampu menyejahterakan rakyat, bukan membebaninya," kata pengunjuk rasa.

Aksi serupa berlangsung di Jln. Naripan yang dilakukan Gerakan Rakyat Bandung (Garab). Dalam pernyataannya, Garab menilai Susilo dan Jusuf Kalla tidak pernah peduli dengan persoalan rakyat yang sedang dilanda musibah banjir dan longsor di berbagai daerah. "SBY dan Kalla masih saja menindas rakyat dengan menaikan harga BBM, mengimpor beras, harga melambung tinggi, PHK besar-besaran, dan lainnya," kata elemen Garab.

Tuntutan lain yang disampaikan Garab yakni menolak kenaikan BBM yang dilakukan sejak 1 Oktober tahun lalu. Kemudian, menolak kenaikan TDL, minta dilakukan audit PLN, dan dilakukan nasionalisasi sumber daya alam.

Gelombang aksi unjuk rasa tidak sampai berbuat anarkis. Aksi mereka bubar setelah mengetahui Presiden SBY meninggalkan Gedung Merdeka.

Bentrok

Namun, aksi yang secara umum berlangsung tertib, sempat diwarnai bentrok antara demonstran dengan pihak keamanan. Aksi pemukulan pun terjadi. Menlu BEM Unpad, Suratno dan Oki dari Keluarga Mahasiswa (KM) ITB menerima pukulan di bagian wajah.

Akibatnya, tiga mahasiswa dari BEM Se-Bandung Raya dan dua pekerja dari SP-FKK PTDI digiring ke Polwiltabes Bandung. Tiga mahasiswa itu Suratno, Oki, dan Johan Khan. Sementara, dua pekerja SP-FKK PTDI yang tertangkap yaitu Beni dan Johanes Zul. Mobil milik SP-FKK PTDI pun, hingga berita ini diturunkan masih disita Polwiltabes Kota Bandung.

"Kami menyayangkan tindakan anarkis dan represif yang justru dilakukan oknum dari organisasi kepemudaan dan masyarakat. Aparat keamanan yang menyaksikan hal tersebut justru diam saja. Hal ini sangat mencederai Hari Pers Nasional 2006," ungkap Presiden BEM Unpad, Indra Kusumah.

Kapolwiltabes Bandung Kombes Pol. Drs. Edmon Ilyas mengatakan, beberapa pengunjuk rasa ditangkap karena melanggar UU unjuk rasa. "Mereka tidak memberitahu terlebih dahulu kepada pihak kepolisian kalau akan melakukan unjuk rasa hari ini," katanya.

Namun, pihak SP-FKK PT DI membantah keras hal tersebut. "Kami sudah memberitahu sebelumnya kepada polwiltabes, dan kami juga secara informal telah memberitahukan akan mengadakan unjuk rasa setiap SBY datang ke Kota Bandung ini," kata Ketua SP-FKK PT DI Arif Minardi.

Disebutkan, dalam aksinya, SP-FKK PT DI menuntut Presiden SBY untuk segera menyelesaikan pembayaran pensiunan mereka yang belum dibayarkan PT DI selama tiga tahun terakhir ini.

"Kami menuntut janji SBY yang mengatakan akan menyelesaikan permasalahan ini dalam 100 hari sekira setahun yang lalu di rumahnya, di Cikeas. Namun, hingga detik ini, SBY lebih banyak menerima masukan dari pihak PT DI dari pada kami. Itu membuktikan SBY tidak berpihak pada rakyat lemah. Harusnya, SBY juga menerima masukan dari kami, pihak pekerja PT DI yang tertindas," kata Arif. (A-134/A-154)***

Unjuk Rasa Dibungkam

#Berita Kompas 10 Februari 2006#

Presiden Yudhoyono Dinilai Tak Pedulikan Rakyat

Bandung, Kompas - Kebebasan berpendapat mendapat ujian. Lima pengunjuk rasa ditangkap petugas dari Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung dalam unjuk rasa menyambut kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional di Bandung, Kamis (9/2).

Pengunjuk rasa yang diamankan tersebut adalah Koordinator Lapangan yang juga Wakil Presiden II Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Johan Khan. Selain itu, mahasiswa Unpad Suratno, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) Oki, dan dua orang dari Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan PT Dirgantara Indonesia, Johanes Jo dan Benny, juga diamankan.

Kepala Kepolisian Kota Besar Bandung Komisaris Besar Edmon Ilyas mengatakan, penangkapan ini karena tidak ada pemberitahuan bahwa mereka hendak berunjuk rasa. Edmon juga menjelaskan, pihaknya sempat mengingatkan kepada pengunjuk rasa untuk menghentikan aksinya, tapi tidak diindahkan. ”Terpaksa mobil saya sita, ketua kelompok saya tangkap. Demokrasi harus mengerti undang-undang yang berlaku,” papar Edmon.

Namun, Presiden BEM Unpad Indra Kusuma mengaku sudah melayangkan pemberitahuan mengenai aksi ini. ”Sudah dikirim lewat faksimile,” tegas Indra.

Penangkapan ini berawal ketika pada pukul 10.00 sekitar 200 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Anti SBY-JK melakukan long march menuju Gedung Merdeka dengan dipandu mobil bak terbuka.

Rencananya, mereka akan berdialog dengan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Sesampainya di perempatan Jalan Tamblong-Asia Afrika, massa dihadang barikade satuan keamanan yang terdiri dari polisi dan anggota Organisasi Kepemudaan (OKP).

Pengunjuk rasa sempat berunding dengan satuan keamanan, tapi tidak mencapai kesepakatan. Akhirnya, massa memaksa menerobos, bentrokan pun tak terhindarkan. Setelah reda, polisi kemudian mengamankan lima pengunjuk rasa beserta mobil bak terbuka yang berisi sound system untuk orasi.

Seusai menjalani pemeriksaan (BAP), kelima pengunjuk rasa tersebut diperbolehkan pulang pada pukul 15.30, sementara mobilnya masih ditahan. ”Yang kami sayangkan adalah adanya pemukulan oleh anggota OKP terhadap teman kami. Polisi membiarkan pemukulan itu,” ujar Indra. Ia mempertanyakan dasar hukum OKP melakukan pengamanan terhadap pengunjuk rasa.

Tak peduli rakyat

Dalam pernyataan sikapnya, para pengunjuk rasa menilai bahwa Presiden SBY tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat. Indikasinya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kebijakan impor beras, dan rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Mereka juga menuntut agar Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Denmark karena telah menghina agama Islam dengan membuat kartun Nabi Muhammad SAW.

Selain massa Front Anti SBY-JK yang terkonsentrasi di Perempatan Jalan Tamblong- Asia Afrika, juga muncul pengunjuk rasa dari para mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Bandung. Sekitar 40 pengunjuk rasa ini berorasi di simpang lima Asia Afrika dan bermaksud menuju Gedung Merdeka, namun dihalangi oleh petugas keamanan. Sempat terjadi dorong-mendorong antara pengunjuk rasa dan petugas keamanan, tetapi tidak sampai bentrok.

Setelah sekitar 30 menit berorasi, mereka kemudian beralih ke Jalan Naripan. Dalam orasinya, mereka menuntut agar Perusahaan Listrik Negara (PLN) diaudit, menolak kenaikan harga BBM, dan kenaikan TDL. Selang tiga jam kemudian, di tempat yang sama, Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia Jawa Barat menyatakan hal senada.

Tuntutan serupa juga diserukan Lingkar Mahasiswa Bandung Raya yang melakukan aksi damai dengan menggelar spanduk bertuliskan penolakan kenaikan TDL di Jalan Braga. (d07)

ORANG MISKIN DILARANG KULIAH

#Berita Rubrik KAMPUS Harian Pikiran Rakyat 26 Januari 2006#


Wacana seputar Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) kembali menghangat menyusul segera disahkannya RUU tersebut. Pro dan kontra terus bergulir. Kendati demikian, pemerintah tetap bersikukuh menggolkannya. Quo vadis perguruan tinggi kita dan bagaimana wajah mereka di era BHP nantinya?

SEJATINYA, RUU BHP merupakan bentuk reformasi pengelolaan dan penyediaan pendidikan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat. Bagi PT, inilah saatnya otonomi kampus. Mereka dapat mengatur kebijakan sendiri. Lebih daripada itu, PT-khususnya PTN- diharapkan dapat mandiri dan tidak lagi terlalu bergantung pada pemerintah.

Mulai disusun sejak beberapa tahun lalu sampai kini, RUU BHP yang merupakan amanat dari UU Sisdiknas 2003, masih belum selesai dibahas. Oleh karenanya, sebelum RUU BHP disahkan, tidak ada PT yang statusnya berubah menjadi BHP. Menurut Yusuf Supendi, anggota Komisi X DPR RI, kemungkinan paling cepat RUU BHP disahkan Juni 2006 (Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Januari 2006).

Yang jelas, setelah RUU tersebut disahkan, PT-PT baik negeri maupun swasta di Indonesia harus segera mengadopsinya. Proses penggantian status akan dilakukan secara bertahap selama enam tahun sejak RUU disahkan. Lalu bagaimana kesiapan PT di Indonesia sendiri?

Unpad adalah salah satu PT yang sudah mulai mempersiapkan diri menjadi BHMN sejak 2000. "Kalau ditanya apakah sudah siap, Unpad sudah siap dan memang harus siap. Tinggal kepastiannya yang menentukan itu pemerintah," ucap Evi Ariadne, Staf Humas Unpad, kepada Kampus.

Menyongsong era BHP, mau tidak mau PT dituntut pandai memutar otak dalam menggali sumber-sumber dana. "Upaya-upaya mendapatkan dana dilakukan dengan cara bekerja sama dengan pihak luar," jelas Kuswaji, Ketua Tim Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (BHPMN) Unpad. Kuswaji menjelaskan, selama ini Unpad telah memulai kerja sama dalam bidang e-learning dengan Leiden University. Selain itu, Unpad melakukan twinning program antara Fakultas Kedokteran Unpad dengan negara Malaysia.

Menurut Rektor Unpad, seperti dituturkan Kuswaji, salah satu ciri BHPMN Unpad adalah inovasi. Inovasi tersebut dapat berupa manusia, sistem ataupun barang. "Itu bukan berarti kita bebas mendirikan POM bensin atau hotel misalnya. Tapi bisnis yang berkaitan dengan dunia pendidikan," ujar Kuswaji.

Namun, penjelasan Kuswaji seolah belum mampu menjawab kekhawatiran, bahwa cara-cara seperti itu pasti akan berjalan mulus. Ketika jalannya macet, tentu jalan yang paling mudah adalah membebankan kepada mahasiswa. Tidak heran, pergantian status ini kerap dikaitkan dengan kenaikan SPP. "Itu hal yang berbeda. Dengan atau tanpa BHPMN, SPP memang bisa naik," kata Kuswaji. Menurut dia, hal ini dipengaruhi juga oleh situasi ekonomi negeri ini, misalnya kenaikan BBM, tarif dasar listrik, dsb., yang berdampak pula pada kebutuhan rumah tangga, akademik, dan operasional dari universitas.

Kuswaji menilai, demonstrasi penolakan RUU BHP yang dilakukan kalangan mahasiswa, lebih disebabkan pandangan mahasiswa yang belum luas. "Seharusnya pandangan mereka jauh ke depan. Saya juga tidak mungkin melakukan sosialisasi dari person ke person. Mahasiswa di Unpad ini saja 45 ribu. Jadi, mereka yang mengerti, bisa menjelaskan pada yang belum mengerti," papar Kuswaji.

Sementara, aksi penentangan terhadap RUU BHP oleh mahasiswa saat ini, tidak lagi seramai di waktu-waktu yang lalu. Apakah mahasiswa sudah mulai menerimanya? "Terlalu dini untuk mengatakan menerima atau menolak. Yang terpenting bukan itu. Harus ada kajian yang rasional sebagai argumennya," ungkap Indra Kusumah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-Kema) Unpad.

Indra mengatakan, BEM Kema Unpad membuat counter legal drafting (CLD) RUU BHP yang akan diajukan dalam pertemuan dengan Komisi X DPR RI. "Ya, membuat semacam RUU tandingan versi mahasiswa," ujar Indra.

Tak hanya itu, BEM Kema Unpad juga berencana mengadakan seminar dan lokakarya Februari mendatang, guna merumuskan berbagai masukan dari mahasiswa untuk rektorat Unpad. "Hal ini dilakukan bukan untuk menghilangkan keresahan mahasiswa atas BHPMN. Keresahan tidak harus dihilangkan, tapi disalurkan," jelas Indra.

Lalu bagaimana dengan PTS? Draf-draf awal RUU BHP, kalangan PTS --dalam hal ini yayasan-- sempat menolaknya. Pasalnya, dalam aspek kelembagaan, belum jelas peran antara pengelola PTS dan badan penyelenggara (yayasan) itu sendiri. Hal ini bisa menimbulkan konflik intern.

Namun, Asosiasi Badan Penyelenggara Pendidikan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) kini telah menyambut baik draf RUU BHP versi Desember 2005. Hal ini disebabkan yayasan PTS bisa memilih tiga alternatif sesuai kondisi yang dihadapinya. Draf terakhir tersebut, dinilai sudah cukup mengakomodasikan sebagian aspirasi kalangan PTS, termasuk yayasan dan badan wakaf, karena sudah berisi tiga alternatif. Pertama, PT dan yayasan menjadi BHP. Kedua, PT menjadi BHP dan yayasan tidak. Ketiga, yayasan menjadi BHP dan PT tidak.

"Misalnya, saya sebagai Ketua Pembina Yayasan Al-Ghifari yang membawahi STMIK Jabar dan Universitas Al-Ghifari, memilih opsi yaitu perguruan tinggi BHP, sedangkan yayasan tetap tidak BHP. Pertimbangannya, status yayasan sebagai penyelenggara," kata Sali Iskandar, Ketua ABPPTSI.

Evaluasi

Keberadaan BHPMN pun tak ubahnya hanya perubahan kata dari BHMN. PT BHMN yang sudah ada sampai saat ini (ITB, UI, UGM, IPB, UPI dan USU) pun akan berubah menjadi BHPMN menyusul disahkannya RUU BHP nanti. Lalu, sejauh mana evaluasi terhadap pilot project otonomi kampus tersebut?

Rizal Tamin, Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) ITB mengatakan, evaluasi secara internal di ITB dilakukan rutin setiap tahun. "Dengan BHMN, kita mulai memikirkan ada pemberdayaan institusi. Pemberdayaan organisasi. Jadi lebih terbuka dalam pengelolaan," ujar Rizal, saat ditanya dampak dari BHMN di ITB.

Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT-BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik. Namun hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap "pintu alternatif" ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah.

"Memang ada pihak-pihak yang kita minta (uang-red) lebih tinggi. Itu untuk keadilan. Dalam arti, pihak yang mampu tidak boleh membayar sama," papar Rizal.

Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. "Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. Masalahnya sekarang adalah aksesibilitas. Mereka yang ingin masuk sini (ITB-red), jadi sudah terfilter sejak sebelum masuk," papar Muhammad Syaiful Anam, yang biasa dipanggil Anam, Ketua Keluarga Mahasiswa (KM) ITB.

Sementara itu, UPI pun masih terus berbenah diri. "Sekarang sedang masa transisi. Masih disusun anggaran rumah tangganya. Sebenarnya cukup bagus visi perubahannya. Tapimasih ada hal-hal yang harus dikritisi," ungkap Agus Salim, Ketua BEM UPI.

Hal-hal yang masih dikritisi yang dimaksud Agus adalah, keberadaan unsur mahasiswa di Majelis Wali Amanah (MWA). "UPI adalah satu-satunya PT BHMN yang tidak terdapat unsur mahasiswa di dalam MWA-nya," kata Agus lagi.

Proses transisional dari kultur kebergantungan pada pemerintah menuju otonomi dan kemandirian kampus, bukanlah sebuah jalan lurus yang mulus. Tampaknya beberapa PT BHMN yang sudah ada selama ini masih terus menemukan formula yang paling tepat. "Ini sedang masa transisi. Namun harus dijaga agar masa transisi ini terjadi di track yang benar," ujar Anam.

Neoliberalisme

Sementara pakar pendidikan H.A.R Tilaar mencermati rencana mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) dituding berada di balik rencana ini. "Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Kita ini masih negara kere. Bagaimana mau maju kalau pemerintahnya lepas tangan?" cetus H.A.R Tilaar.

Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20%, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. "Coba saja, ujung-ujngnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu," tukasnya lagi.

Cerita dari Adrian Febri, Ketua Divisi Kajian KM-ITB, mungkin bisa menggambarkan tudingan dari H. A. R. Tilaar tersebut. Adrian berpendapat, belakangan terjadi perubahan kultur di ITB. Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. "Dulu itu parkir mobil di sini tidak terlalu ramai. Wah, kalau sekarang, penuh terus. Banyak yang suka nggak dapat," kata Adrian.

Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus. Namun jangan sampai mengundang protes masyarakat dengan berteriak, "Orang miskin dilarang kuliah."***

dewi irma
kampus_pr@yahoo.com

BHPT UNPAD TERGANTUNG PEMERINTAH

Berita Harian Pikiran Rakyat tanggal 18 Januari 2006

BANDUNG, (PR),-
Unpad belum menentukan kapan menjadi Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT), karena kepastian perubahan status itu ditentukan pihak pemerintah. Demikian diungkapkan Kuswaji, Ketua Tim BHPT Unpad saat bertemu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad, Senin (16/1). Hingga kini, pemerintah belum memberikan kepastian mengenai perubahan ini.

Pernyataan Kuswaji disampaikan untuk mengklarifikasi pemberitaan yang menyatakan pada Februari Unpad akan menjadi BHPT.

Menurut Kuswaji, konsep Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Unpad BHPT akan tergantung UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang nanti disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). ”Kepastian waktu kapan Unpad menjadi BHPT ditentukan oleh pemerintah dan bukan oleh Unpad sendiri,” kata Kuswaji.

Dalam pertemuan itu, Ketua BEM Unpad, Indra Kusumah mengatakan, BEM Unpad telah bertemu dengan anggota Komisi X DPR RI, drg. Tony Apriliani untuk meminta informasi mengenai RUU BHP dan penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai BHPT.

Dalam pertemuan itu, lanjut Indra, Tony Apriliani menyatakan, dalam rapat kerja dengan Mendiknas ada kesepakatan, sebelum RUU BHP disahkan, tidak ada PTN yang statusnya berubah menjadi BHPT. Bahkan, menurut Yusuf Supendi yang juga anggota Komisi X DPR RI, kemungkinan paling cepat RUU BHP disahkan pada Juni 2006.

Untuk menghindari terjadinya keresahan-keresahan mahasiswa mengenai perubahan status PTN, BEM Unpad berencana mengadakan seminar dan lokakarya. Seminar dimaksudkan untuk merumuskan berbagai masukan yang membangun dari mahasiswa kepada pihak rektorat Unpad, berkaitan dengan perubahan status. Selain itu, BEM Unpad juga akan membuat Counter Legal Drafting (CLD) RUU BHP yang diajukan dalam pertemuan dengan Komisi X DPR RI.

Berbagai pertemuan yang diadakan BEM Unpad, kata Indra, untuk menghapus keresahan mahasiswa akan mahalnya biaya pendidikan jika Unpad menjadi BHPT. ”Mahasiswa memahami bahwa pendidikan itu membutuhkan biaya, tetapi tidak harus mahal,” ujar Indra. (A-153)***

BEM TUNGGU KLARIFIKASI REKTORAT

Berita Koran Pikiran Rakyat tanggal 12 Januari 2006

BANDUNG (PR)
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad masih menunggu klarifikasi resmi pihak rektorat berkaitan dengan perubahan status Unpad menjadi badan hukum pendidikan milik negara (BHPMN), Februari mendatang. Demikian disampaikan Presiden BEM Unpad, Indra Kusumah, S.K.L., kepada "PR", Selasa (10/1)

Meski begitu, Indra menilai, perubahan status itu menunjukkan Unpad tidak konsisten. Karena sebelumnya, pihak rektorat menyatakan akan menunggu pengesahan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang dalam pembahasan Komisi X DPR RI.

”Sampai saat ini, belum ada ketentuan yang mengatur BHP yang bisa dijadikan dasar hukum menjadikan Unpad sebagai Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) karena RUU BHP belum disahkan,” katanya. BHPT adalah istilah yang digunakan dalam RUU BHP menggantikan BHPMN.

PP No. 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan PTN sebagai badan hukum, otomatis batal demi hukum, karena UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam Pasal 53 ayat (4) menyatakan "ketentuan tentang Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri”. Dengan demikian, kata Indra, UU No. 20/2003 pun sangat tidak memadai dijadikan dasar hukum karena RUU BHP belum disahkan.

Dampak yang paling dikhawatirkan mahasiswa akibat perubahan status ini yaitu adanya kenaikan SPP. Menurut Indra, tidak adanya kenaikan SPP seperti dijanjikan pihak rektorat ketika Unpad menjadi BHPMN adalah sebuah kontradiktif. Karena dalam kenyataannya, justru terjadi kenaikan.

"Sekarang SPP yang dibayar mahasiswa sekira Rp 600 ribu per semester. Jika nanti harus membayar Rp 1,2 juta, berarti ada kenaikan sebesar 100 persen,” katanya.

Belum disosialisasikan

Menurut Indra, saat ini belum ada sosialisasi rencana perubahan status Unpad men­jadi BHPMN secara komprehensif kepada seluruh keluarga besar Unpad, khususnya mahasiswa. Misalnya, menyangkut perubahan AD/ ART Unpad, konsep jaminan kualitas, dan lain-lain.

”Mahasiswa Unpad tidak anti perubahan. Hanya perubahan itu harus diikuti dengan perbaikan,” katanya.

Tuntutan mahasiswa, lanjut Indra, secara umum mencakup tiga hal, yaitu pembenahan berbagai fasilitas yang masih minim, profesionalisme pengelolaan lembaga yang kurang, dan demokratisasi kampus yang masih jauh dari harapan.

Seperti diberitakan, Unpad mulai Februari depan, akan menyusul menjadi perguruan tinggi (PT) yang berstatus hukum BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Rektor Unpad, Prof. H.A. Himendra Wargahadibrata, menegaskan, perubahan status tersebut tidak akan menimbulkan masalah baru di universitas, seperti kenaikan sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP).

Untuk mempersiapkan diri menjadi BHPMN, Unpad membuat tim untuk mengkaji aspek hukumnya. Unpad juga melakukan studi banding ke perguruan tinggi lain yang telah berstatus BHMN.

"Konsep BHPMN itu sendiri terkait dengan otonomi PTN, supaya PTN dapat berperan sebagai kekuatan moral. Otonomi PTN adalah bagian dari reformasi pendidikan tinggi," kata Himendra. (A-153)***