Monday, January 24, 2005

KONSEKUENSI IDENTITAS MAHASISWA

MAHASISWA, beberapa tahun lalu ketika baru masuk perguruan tinggi, kata itu semula terdengar aneh dan gagah. Penulis tersentak ketika menyadari, sebutan itu ditujukan kepada saya, bukan kepada orang lain. Sebutan itu mulai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri ini. Ternyata, saya telah memiliki identitas baru, mahasiswa!

Semula, terselip rasa bangga ketika dipanggil mahasiswa. Bagaimana tidak, sekarang saya bukan sekadar siswa lagi karena ada tambahan "maha" sebelumnya. Lebih dari itu, identitas ini tidak didapatkan dengan tiba-tiba, sim salabim! Identitas ini didapat setelah berjibaku dalam seleksi super ketat melawan ribuan saingan ketika UMPTN/SPMB. Sehingga, rasanya tak terlalu salah menganggap identitas mahasiswa sebagai simbol kemenangan para juara.
Tidak hanya itu, mahasiswa mendapatkan berbagai gelar yang menggelegar: agent of change, director of change, creative minority, calon pemimpin bangsa dan lain sebagainya. Berbagai perubahan besar dalam persimpangan sejarah negeri ini, senantiasa menempatkan mahasiswa dalam posisi terhormat.
Misalnya, sebagai pahlawan demokrasi, bahkan gerakan yang dibangun mahasiswa disebut sebagai pilar demokrasi yang kelima. Mahasiswa menjadi tumpuan harapan bangsa, harapan negara, harapan masyarakat, harapan keluarga dan juga harapan agama.
Di tengah euforia identitas itu, tiba-tiba muncul seberkas kesadaran. Ada peran-peran yang harus dilakukan sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi otomatis dari identitas mahasiswa.
Harapan dan Konsekuensi
Berbagai istilah menggelegar itu menuntut pemilik identitas mahasiswa, untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dikerjakan. Ada harapan di balik berbagai sebutan dan julukan untuk mahasiswa. Ya, ada konsekuensi identitas mahasiswa! Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi konsekuensi identitas mahasiswa.
Pertama, aspek akademis. Dalam aspek ini tuntutan peran mahasiswa hanya satu, belajar. Ini sebenarnya merupakan tugas inti mahasiswa karena konsekuensi identitas mahasiswa dalam aspek yang lain, merupakan derivat dari proses pembelajaran mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica harus menjadi insan yang memiliki keunggulan intelektual, karena itu merupakan modal dasar kredibilitas intelektual.
Kedua, aspek organisasional. Tidak semua hal bisa dipelajari di kelas dan laboratorium. Masih banyak hal yang bisa dipelajari di luar kelas, terutama yang hanya bisa dipelajari dalam organisasi. Organisasi kemahasiswaan menyediakan kesempatan pengembangan diri luar biasa dalam berbagai aspek. Misalnya, aspek kepemimpinan, manajemen keorganisasian, membangun human relation, team building dan sebagainya. Organisasi juga sekaligus menjadi laboratorium gratis ajang aplikasi ilmu yang didapat di kelas kuliah.
Ketiga, aspek sosial politik. Mahasiswa merupakan bagian dari rakyat, bahkan ia merupakan rakyat itu sendiri. Mahasiswa tidak boleh menjadi entitas terasing di tengah masyarakatnya sendiri. Ia dituntut untuk melihat, mengetahui, menyadari dan merasakan kondisi riil masyarakatnya yang hari ini sedang dirundung krisis multidimensional.
Kesadaran ini mesti teremosionalisasikan sedemikian rupa hingga tidak berhenti dalam tataran kognitif an sich, tapi harus mewujud dalam bentuk aksi advokasi. Dalam tataran praktis, aksi advokasi ini sering bersinggungan dengan ketidakadilan dan otoriterianisme kekuasaan. Menantang memang, namun di situlah jiwa kemahasiswaan seseorang teruji.
Kampus memang bukan merupakan masyarakat sesungguhnya (real society), tapi ia merupakan masyarakat semu (virtual society) dengan segala kemiripan kompleksitas permasalahan serta struktur sosialnya dengan masyarakat yang sebenarnya. Karena itu, mahasiswa bisa menjadikan kampus sebagai ajang simulasi yang menjadi bekal sebenarnya, ketika betul-betul terlibat dan terjun ke masyarakat sesungguhnya.
Maka, rasanya belum lengkap menjadi mahasiswa tanpa memenuhi berbagai konsekuensi identitas mahasiswa dalam ketiga aspeknya. Pemenuhan keseluruhan konsekuensi identitas mengantarkan kita pada kebermaknaan menjadi mahasiswa. Sehingga kita menjadi mahasiswa sebenarnya, tidak hanya sekadar mahasiswa!
Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 18 Januari 2004. Klik http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/18/1105.htm

No comments: