Oleh : Indra Kusumah SKL
”Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa”
(Keputusan Mendiknas No 155/U/1998 pasal 2)
Jarang sekali aktifis mahasiswa yang mengetahui prinsip pengelolaan lembaga kemahasiswaan tersebut. Sepertinya sepele, namun ketidaktahuan terhadap Keputusan Mendiknas No 155/U/1998 dan Pola Pengembangan Kemahasiswaan (yang sekarang tidak dicantumkan di Buku “Almamaterku Tercinta”) menjadikan para aktifis mahasiswa kurang memahami konsepsi kelembagaan dalam organisasi kemahasiswaan.
Dampaknya adalah mahasiswa memposisikan diri sebagai subordinat dari rektorat/dekanat/jurusan dan tidak mandiri dalam menentukan program dan kegiatannya. Selain itu tak jarang ada intervensi berlebihan terhadap lembaga kemahasiswaan sehingga ada kegiatan kemahasiswaan yang diambil alih birokrat kampus. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan melahirkan para aktifis berjiwa kerdil dan inferior, kultur organisasi kemahasiswaan yang tidak sehat, pola komunikasi yang tidak elegan dan interaksi yang tidak egaliter dengan birokrat kampus.
Padahal, “dari, oleh dan untuk mahasiswa” adalah prinsip mengelola lembaga kemahasiswaan yang akan menjadikan para aktifis dan lembaganya mandiri dalam menentukan konsepsi kelembagaan, sikap, program dan kegiatannya.
Padahal, derajat kebebasan dan mekanisme tanggung jawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggung jawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi (pasal 6 SK Mendiknas No 155/U/1998)
Padahal, kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan (pasal 4 SK Mendiknas No 155/U/1998). Jadi ketua lembaga kemahasiswaan tidak bertanggung jawab kepada rektorat atau dekanat, tapi bertanggung jawab kepada mahasiswa sesuai dengan konsepsi kelembagaan yang disepakati dalam forum kongres mahasiswa di kampusnya.
Padahal pula, hubungan dengan rektorat/dekanat dibangun atas dasar prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan ini berarti:
Hal-hal yang merupakan kepentingan rektorat/dekanat/jurusan merupakan hak rektorat/dekanat/jurusan dalam menentukannya, mahasiswa hanya memberikan masukan. Contohnya struktur di rektorat, sistem administrasi dan sebagainya
Hal-hal yang merupakan kepentingan mahasiswa merupakan hak mahasiswa untuk menentukannya. Rektorat/dekanat/jurusan hanya memberikan masukan. Contohnya konsepsi kelembagaan, struktur organisasi, program kerja dan sebagainya
Hal-hal yang merupakan irisan kepentingan di antara kedua belah pihak ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Contohnya waktu Pengenalan Lembaga Kemahasiswaan/Penerimaan Anggota Baru, dll
Hal ini sebagai konsekuensi logis dari Strategi Pengembangan Kemahasiswaan. Diantaranya:
Merujuk ciri dan cara masyarakat ilmiah dalam menghadapi dan mengatasi masalah yang ada
Mempertimbangkan karakteristik mahasiswa sebagai individu yang tergolong dewasa muda atau generasi muda bangsa
Menciptakan iklim atau komunikasi dialogis dalam mengatasi masalah yang dihadapi
Memandang mahasiswa sebagai mitra dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat almamater masing-masing
Memegang prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dalam penataan organisasi kemahasiswaan dan penyusunan program kemahasiswaan
Memanfaatkan secara optimal sarana dan prasarana kampus masing-masing dalam mengembangkan program atau kegiatan kemahasiswaan
Mengupayakan terwujudnya prinsip KIS (Kordinasi, Integrasi dan Sinkronisasi) baik antar unit kerja di dalam maupun dengan unit kerja/instansi lain yang terkait dengan program kemahasiswaan di luar kampus
Mengalokasikan sejumlah dana secara terencana, terarah, dan berkesinambungan sebagai pendukung
dll
Apakah di Universitas Padjadjaran sudah terbukti?
No comments:
Post a Comment