Saturday, July 16, 2005

Mahasiswa Berunjuk Rasa Menolak RUU BHP

BANDUNG, (Pikiran Rakyat edisi 17 Juli 2005).-


Sekira 100 mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, Sabtu (16/7) petang, menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) versi 24 Juni 2005. Mereka menganggap RUU tersebut menguatkan komersialisasi pendidikan dan salah satu bentuk upaya pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dari pendidikan nasional.

Aksi demonstrasi di depan Gedung Sate itu digelar usai "Lokakarya Pendidikan Nasional" di Universitas Padjajaran Jatinangor. Lokakarya diikuti perwakilan mahasiswa dari Unpad, ITB, IPB, UNS, UPI, UI, UNY, Polban, Unila, Unair, Unand, Unsri, UNJ, Unnes, Undip, UNP, UGM, STT Telkom dan UMY.

Sambil meneriakkan yel-yel, mahasiswa juga bergantian berorasi dan mengacungkan poster berisi sindiran dan kecaman terhadap pemerintah yang dianggap tidak bisa menangani dunia pendidikan. Aksi berlangsung hampir tiga jam, karena mahasiswa menunggu hasil rekomendasi lokakarya yang baru berakhir sekira pukul 15.00 WIB di Jatinangor.

Aksi itu pun sempat menyita perhatian masyarakat pengguna jalan dan pengunjung Cooperative Fair di Lapangan Gasibu. Namun, demonstrasi yang berlangsung damai itu tidak sampai mengganggu arus lalu lintas di Jln. Diponegoro.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad Indra Kusuma, mahasiswa menuntut DPR dan pemerintah untuk memasukkan 12 rekomendasi hasil lokakarya ke dalam RUU BHP yang akan disahkan. Mereka juga menuntut agar mahasiswa dilibatkan dalam setiap proses pembuatan kebijakan yang menyangkut pendidikan nasional.

Berdasarkan hasil evaluasi mahasiswa, dalam RUU BHP versi terbaru tidak dijelaskan bentuk dan status hukum dari BHP. Mereka juga menilai di dalamnya tidak ada kejelasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan secara umum dan fungsional BHP, tidak ada jaminan perlindungan bagi peserta didik yang tidak mampu, tidak ada prinsip berkeadilan dan transparansi dalam penarikan dana dari peserta didik, serta tidak diatur secara tegas tentang keterlibatan mahasiswa dalam komposisi anggota Majelis Wali Amanat (MWA).

Selain itu, RUU tersebut tidak menyebutkan definisi mengenai pendiri BHP, tidak ada aturan yang tegas tentang pelaksanaan pendidikan asing di Indonesia, konflik antardepartemen di pemerintahan dalam rencana implementasi RUU BHP, dan ketiadaan standar serta proses pendirian BHP.

Dalam penyelenggaraan BHP juga tidak ada sanksi dan ketentuan pidana yang jelas, juga tidak ada jaminan kesejahteraan bagi karyawan BHP, tidak ada perlindungan dari pemerintah terhadap ancaman kepailitan BHP yang didirikan pemerintah.

"Kita saat ini sudah trauma dengan BHMN. Selain dari segi biaya memberatkan mahasiswa, upaya untuk memperoleh beasiswa pun memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Akhirnya sudah jelas, RUU ini semakin mengarahkan komersialisasi pendidikan," ungkap Wapres BEM Unpad, Johan Khan.

Pernyataan serupa dikemukakan Presiden BEM UNS Ikhlas Thamrin, yang menyatakan RUU BHP kali ini jauh lebih "mengerikan" dari RUU sebelumnya. Menurutnya, sikap pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab dari pendidikan nasional semakin kentara, dengan tidak jelasnya aturan mengenai penyelenggaraan dan pendanaan BHP.

"Hasil evaluasi kita, isi dari RUU BHP ternyata semakin menguatkan adanya indikasi pemerintah ingin menghilangkan tanggung jawab terhadap pendidikan nasional," ujarnya.

Tidak adanya kejelasan pendanaan dari negara terhadap BHP, imbuh Ikhlas, memungkinkan pimpinan kampus untuk melakukan pungutan, yang ujung-ujungnya mengeksploitasi mahasiswa. Padahal, pemerintah seharusnya memperjuangkan anggaran pendidikan 20% dari APBN.

Pusat tabulasi

Sebagai tindak lanjut dari lokakarya tersebut, mahasiswa akan membentuk pusat tabulasi data dan komisi pengawas untuk menghimpun perkembangan data terbaru mengenai RUU BHP, yang menurut Ikhlas sudah delapan kali mengalami perubahan.

"Tadinya kami akan langsung menyerahkan rekomendasi ini kepada Komisi X DPR RI. Tapi karena mereka sedang reses, kami akan terus menghimpun masukan, dan kembali menggelar lokakarya menjelang pengesahan UU tersebut," ujarnya.

Dalam orasinya mahasiswa sepakat, jika RUU versi 24 Juni 2005 dengan 48 pasal itu sampai disahkan, hal itu semakin menunjukkan kemunduran pemerintah dalam menangani dunia pendidikan. (A-131)***

No comments: