Dalam teori Higiene-Motivator, Herzberg menyatakan bahwa ternyata yang mengarahkan perilaku kita bukan hanya motivasi intrinsik (motivasi diri/motivator), tapi juga motivasi ekstrinsik (higiene). Motivasi intrinsik berasal dari dalam diri sendiri seperti tantangan, rasa berprestasi, keyakinan, keimanan, rasa tanggung jawab, minat aktualisasi diri dan lain-lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik bersumber dari kondisi di luar individu seperti upah, jaminan kerja, status, pergaulan, hubungan atasan dan bawahan, uang dan sebagainya.
Sang juara menyadari kedua sumber motivasi itu sekaligus memahami karakteristik masing-masing sumber motivasi. Motivasi ekstrinsik merupakan faktor yang membuat orang tidak puas dan memiliki kontinum dari ketidakpuasan rendah kepada ketidakpuasan tinggi. Artinya, pemenuhan motivasi ekstrinsik tidak akan membuat orang puas, ia hanya mampu mengeliminir ketidakpuasan. Berbeda dengan motivasi intrinsik, ia merupakan faktor yang membuat orang puas dan memiliki kontinum dari kepuasan rendah kepada kepuasan tinggi. Artinya pemenuhan kebutuhan ini akan semakin menambah kepuasan dalam hidup.
Contoh paling umum dari motivasi ekstrinsik adalah uang, bahkan penelitian di Amerika menyatakan bahwa uang merupakan motivator terbesar bangsa Amerika.
Padahal untuk apa uang digunakan?
Ia memang bisa digunakan untuk membeli kemewahan, tapi tidak bisa membeli kebahagiaan…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli makanan, tapi tidak bisa membeli selera…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli sertifikat, tapi tidak bisa digunakan untuk membeli kemampuan…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli rumah, tapi ia tidak bisa digunakan untuk membeli tempat kebetahan di tempat tinggal…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli seks, tapi tidak bisa digunakan untuk membeli cinta dan kasih sayang…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli ranjang, tapi ia tidak bisa digunakan untuk membeli kenikmatan tidur...
Berapapun uang yang didapat tidak akan mencapai kepuasan, ia hanya mengeliminir ketidakpuasan…
Memang ada orang yang menjadi juara karena memiliki motivasi ekstrinsik. Ia menjadi juara karena mengharapkan hadiah, medali, bonus dan sebagainya. Namun, apakah Ia mendapatkan hakikat sebuah kemenangan? Apakah Ia merasakan kepuasan sejati? Dan apakah Ia memiliki daya tahan dan energi untuk senantiasa bangkit jika suatu saat dia mengalami kegagalan. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan hal yang sulit dijawab oleh pemilik motivasi ekstrinsik an sich.
Berbeda dengan Sang Juara Sejati. Ia lebih bertumpu pada motivasi instrinsiknya. Ia mengetahui bahwa kepuasan hanya dapat diraih apabila proses mencapai kesuksesannya bertumpu pada kemampuannya memotivasi diri sendiri. Karena itulah, dia senantiasa menjadi juara karena meyakini bahwa kemenangan sejati bukanlah memenangkan setiap pertandingan, tetapi kemampuan merevitalisasi motivasinya dari setiap kegagalan. Karena itu pula lah, sang juara sejati senantiasa memiliki cadangan motivasi yang tak habis-habis digunakan untuk senantiasa menjadi juara. Dengannya, kepuasan dan kemenangan menjadi bagian yang tak pernah terpisah dari dirinya.
Meskipun demikian, Sang juara tidak mengabaikan motivasi ekstrinsiknya karena itu merupakan fitrah manusia. Ia mentoleransi motivasi ekstrinsiknya dalam batas kewajaran. Memang Ia lebih memilih untuk mempertahankan dan menumbuhkembangkan motivasi dirinya (intrinsik). Ia tahu, dengan motivasi dirilah ia menemukan kepuasan dan kebermaknaan hidup. Tapi Ia juga tidak membunuh motivasi ekstrinsiknya karena ia tetap dibutuhkan sebagai pelengkap kepuasan dan kebermaknaan hidupnya.
Sayangnya, realitas menunjukkan banyak orang kesulitan merealisasikannya. Hal ini memang membutuhkan pengenalan mendalam atas diri kita, terutama motif-motif yang mengarahkan perilaku kita, selain dibutuhkan pelatihan diri secara kontinyu.
Namun, bagi sang juara sejati, kesulitan realisasi ini ditanggapi dengan senyuman dan ungkapan, “That is difficult, but possible!”. Sementara sang pecundang hanya bisa menatap nanar kesuksesan, dan berkata, “That is possible, but difficult!”
Sang juara menyadari kedua sumber motivasi itu sekaligus memahami karakteristik masing-masing sumber motivasi. Motivasi ekstrinsik merupakan faktor yang membuat orang tidak puas dan memiliki kontinum dari ketidakpuasan rendah kepada ketidakpuasan tinggi. Artinya, pemenuhan motivasi ekstrinsik tidak akan membuat orang puas, ia hanya mampu mengeliminir ketidakpuasan. Berbeda dengan motivasi intrinsik, ia merupakan faktor yang membuat orang puas dan memiliki kontinum dari kepuasan rendah kepada kepuasan tinggi. Artinya pemenuhan kebutuhan ini akan semakin menambah kepuasan dalam hidup.
Contoh paling umum dari motivasi ekstrinsik adalah uang, bahkan penelitian di Amerika menyatakan bahwa uang merupakan motivator terbesar bangsa Amerika.
Padahal untuk apa uang digunakan?
Ia memang bisa digunakan untuk membeli kemewahan, tapi tidak bisa membeli kebahagiaan…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli makanan, tapi tidak bisa membeli selera…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli sertifikat, tapi tidak bisa digunakan untuk membeli kemampuan…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli rumah, tapi ia tidak bisa digunakan untuk membeli tempat kebetahan di tempat tinggal…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli seks, tapi tidak bisa digunakan untuk membeli cinta dan kasih sayang…
Ia memang bisa digunakan untuk membeli ranjang, tapi ia tidak bisa digunakan untuk membeli kenikmatan tidur...
Berapapun uang yang didapat tidak akan mencapai kepuasan, ia hanya mengeliminir ketidakpuasan…
Memang ada orang yang menjadi juara karena memiliki motivasi ekstrinsik. Ia menjadi juara karena mengharapkan hadiah, medali, bonus dan sebagainya. Namun, apakah Ia mendapatkan hakikat sebuah kemenangan? Apakah Ia merasakan kepuasan sejati? Dan apakah Ia memiliki daya tahan dan energi untuk senantiasa bangkit jika suatu saat dia mengalami kegagalan. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan hal yang sulit dijawab oleh pemilik motivasi ekstrinsik an sich.
Berbeda dengan Sang Juara Sejati. Ia lebih bertumpu pada motivasi instrinsiknya. Ia mengetahui bahwa kepuasan hanya dapat diraih apabila proses mencapai kesuksesannya bertumpu pada kemampuannya memotivasi diri sendiri. Karena itulah, dia senantiasa menjadi juara karena meyakini bahwa kemenangan sejati bukanlah memenangkan setiap pertandingan, tetapi kemampuan merevitalisasi motivasinya dari setiap kegagalan. Karena itu pula lah, sang juara sejati senantiasa memiliki cadangan motivasi yang tak habis-habis digunakan untuk senantiasa menjadi juara. Dengannya, kepuasan dan kemenangan menjadi bagian yang tak pernah terpisah dari dirinya.
Meskipun demikian, Sang juara tidak mengabaikan motivasi ekstrinsiknya karena itu merupakan fitrah manusia. Ia mentoleransi motivasi ekstrinsiknya dalam batas kewajaran. Memang Ia lebih memilih untuk mempertahankan dan menumbuhkembangkan motivasi dirinya (intrinsik). Ia tahu, dengan motivasi dirilah ia menemukan kepuasan dan kebermaknaan hidup. Tapi Ia juga tidak membunuh motivasi ekstrinsiknya karena ia tetap dibutuhkan sebagai pelengkap kepuasan dan kebermaknaan hidupnya.
Sayangnya, realitas menunjukkan banyak orang kesulitan merealisasikannya. Hal ini memang membutuhkan pengenalan mendalam atas diri kita, terutama motif-motif yang mengarahkan perilaku kita, selain dibutuhkan pelatihan diri secara kontinyu.
Namun, bagi sang juara sejati, kesulitan realisasi ini ditanggapi dengan senyuman dan ungkapan, “That is difficult, but possible!”. Sementara sang pecundang hanya bisa menatap nanar kesuksesan, dan berkata, “That is possible, but difficult!”
No comments:
Post a Comment