#Berita Rubrik KAMPUS Harian Pikiran Rakyat 26 Januari 2006#
Wacana seputar Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) kembali menghangat menyusul segera disahkannya RUU tersebut. Pro dan kontra terus bergulir. Kendati demikian, pemerintah tetap bersikukuh menggolkannya. Quo vadis perguruan tinggi kita dan bagaimana wajah mereka di era BHP nantinya?
SEJATINYA, RUU BHP merupakan bentuk reformasi pengelolaan dan penyediaan pendidikan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat. Bagi PT, inilah saatnya otonomi kampus. Mereka dapat mengatur kebijakan sendiri. Lebih daripada itu, PT-khususnya PTN- diharapkan dapat mandiri dan tidak lagi terlalu bergantung pada pemerintah.
Mulai disusun sejak beberapa tahun lalu sampai kini, RUU BHP yang merupakan amanat dari UU Sisdiknas 2003, masih belum selesai dibahas. Oleh karenanya, sebelum RUU BHP disahkan, tidak ada PT yang statusnya berubah menjadi BHP. Menurut Yusuf Supendi, anggota Komisi X DPR RI, kemungkinan paling cepat RUU BHP disahkan Juni 2006 (Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Januari 2006).
Yang jelas, setelah RUU tersebut disahkan, PT-PT baik negeri maupun swasta di Indonesia harus segera mengadopsinya. Proses penggantian status akan dilakukan secara bertahap selama enam tahun sejak RUU disahkan. Lalu bagaimana kesiapan PT di Indonesia sendiri?
Unpad adalah salah satu PT yang sudah mulai mempersiapkan diri menjadi BHMN sejak 2000. "Kalau ditanya apakah sudah siap, Unpad sudah siap dan memang harus siap. Tinggal kepastiannya yang menentukan itu pemerintah," ucap Evi Ariadne, Staf Humas Unpad, kepada Kampus.
Menyongsong era BHP, mau tidak mau PT dituntut pandai memutar otak dalam menggali sumber-sumber dana. "Upaya-upaya mendapatkan dana dilakukan dengan cara bekerja sama dengan pihak luar," jelas Kuswaji, Ketua Tim Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (BHPMN) Unpad. Kuswaji menjelaskan, selama ini Unpad telah memulai kerja sama dalam bidang e-learning dengan Leiden University. Selain itu, Unpad melakukan twinning program antara Fakultas Kedokteran Unpad dengan negara Malaysia.
Menurut Rektor Unpad, seperti dituturkan Kuswaji, salah satu ciri BHPMN Unpad adalah inovasi. Inovasi tersebut dapat berupa manusia, sistem ataupun barang. "Itu bukan berarti kita bebas mendirikan POM bensin atau hotel misalnya. Tapi bisnis yang berkaitan dengan dunia pendidikan," ujar Kuswaji.
Namun, penjelasan Kuswaji seolah belum mampu menjawab kekhawatiran, bahwa cara-cara seperti itu pasti akan berjalan mulus. Ketika jalannya macet, tentu jalan yang paling mudah adalah membebankan kepada mahasiswa. Tidak heran, pergantian status ini kerap dikaitkan dengan kenaikan SPP. "Itu hal yang berbeda. Dengan atau tanpa BHPMN, SPP memang bisa naik," kata Kuswaji. Menurut dia, hal ini dipengaruhi juga oleh situasi ekonomi negeri ini, misalnya kenaikan BBM, tarif dasar listrik, dsb., yang berdampak pula pada kebutuhan rumah tangga, akademik, dan operasional dari universitas.
Kuswaji menilai, demonstrasi penolakan RUU BHP yang dilakukan kalangan mahasiswa, lebih disebabkan pandangan mahasiswa yang belum luas. "Seharusnya pandangan mereka jauh ke depan. Saya juga tidak mungkin melakukan sosialisasi dari person ke person. Mahasiswa di Unpad ini saja 45 ribu. Jadi, mereka yang mengerti, bisa menjelaskan pada yang belum mengerti," papar Kuswaji.
Sementara, aksi penentangan terhadap RUU BHP oleh mahasiswa saat ini, tidak lagi seramai di waktu-waktu yang lalu. Apakah mahasiswa sudah mulai menerimanya? "Terlalu dini untuk mengatakan menerima atau menolak. Yang terpenting bukan itu. Harus ada kajian yang rasional sebagai argumennya," ungkap Indra Kusumah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-Kema) Unpad.
Indra mengatakan, BEM Kema Unpad membuat counter legal drafting (CLD) RUU BHP yang akan diajukan dalam pertemuan dengan Komisi X DPR RI. "Ya, membuat semacam RUU tandingan versi mahasiswa," ujar Indra.
Tak hanya itu, BEM Kema Unpad juga berencana mengadakan seminar dan lokakarya Februari mendatang, guna merumuskan berbagai masukan dari mahasiswa untuk rektorat Unpad. "Hal ini dilakukan bukan untuk menghilangkan keresahan mahasiswa atas BHPMN. Keresahan tidak harus dihilangkan, tapi disalurkan," jelas Indra.
Lalu bagaimana dengan PTS? Draf-draf awal RUU BHP, kalangan PTS --dalam hal ini yayasan-- sempat menolaknya. Pasalnya, dalam aspek kelembagaan, belum jelas peran antara pengelola PTS dan badan penyelenggara (yayasan) itu sendiri. Hal ini bisa menimbulkan konflik intern.
Namun, Asosiasi Badan Penyelenggara Pendidikan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) kini telah menyambut baik draf RUU BHP versi Desember 2005. Hal ini disebabkan yayasan PTS bisa memilih tiga alternatif sesuai kondisi yang dihadapinya. Draf terakhir tersebut, dinilai sudah cukup mengakomodasikan sebagian aspirasi kalangan PTS, termasuk yayasan dan badan wakaf, karena sudah berisi tiga alternatif. Pertama, PT dan yayasan menjadi BHP. Kedua, PT menjadi BHP dan yayasan tidak. Ketiga, yayasan menjadi BHP dan PT tidak.
"Misalnya, saya sebagai Ketua Pembina Yayasan Al-Ghifari yang membawahi STMIK Jabar dan Universitas Al-Ghifari, memilih opsi yaitu perguruan tinggi BHP, sedangkan yayasan tetap tidak BHP. Pertimbangannya, status yayasan sebagai penyelenggara," kata Sali Iskandar, Ketua ABPPTSI.
Evaluasi
Keberadaan BHPMN pun tak ubahnya hanya perubahan kata dari BHMN. PT BHMN yang sudah ada sampai saat ini (ITB, UI, UGM, IPB, UPI dan USU) pun akan berubah menjadi BHPMN menyusul disahkannya RUU BHP nanti. Lalu, sejauh mana evaluasi terhadap pilot project otonomi kampus tersebut?
Rizal Tamin, Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) ITB mengatakan, evaluasi secara internal di ITB dilakukan rutin setiap tahun. "Dengan BHMN, kita mulai memikirkan ada pemberdayaan institusi. Pemberdayaan organisasi. Jadi lebih terbuka dalam pengelolaan," ujar Rizal, saat ditanya dampak dari BHMN di ITB.
Biaya yang selangit dan aroma penggalangan dana besar-besaran dari orang tua peserta didik, mewarnai PT-BHMN selama ini. Idealnya memang dana digali dari sumber lain melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Bukan dari orang tua peserta didik. Namun hal itu membutuhkan kreativitas, kerja keras, dan tentu butuh waktu lebih lama, sementara kebutuhan makin mendesak. Tak heran, fenomena penerimaan mahasiswa baru non-SPMB pun merebak. Berbagai PT BHMN punya nama-nama sendiri terhadap "pintu alternatif" ini. Harganya tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai puluhan juta rupiah.
"Memang ada pihak-pihak yang kita minta (uang-red) lebih tinggi. Itu untuk keadilan. Dalam arti, pihak yang mampu tidak boleh membayar sama," papar Rizal.
Merekrut mahasiswa sebanyak-banyaknya dan menaikkan uang kuliah setinggi-tingginya, dan melakukan seleksi mahasiswa seringan-ringannya, memang bisa jadi rumus cespleng untuk mendapatkan dana. "Perguruan tinggi di Indonesia belum berpengalaman dalam menswastakan diri. Masalahnya sekarang adalah aksesibilitas. Mereka yang ingin masuk sini (ITB-red), jadi sudah terfilter sejak sebelum masuk," papar Muhammad Syaiful Anam, yang biasa dipanggil Anam, Ketua Keluarga Mahasiswa (KM) ITB.
Sementara itu, UPI pun masih terus berbenah diri. "Sekarang sedang masa transisi. Masih disusun anggaran rumah tangganya. Sebenarnya cukup bagus visi perubahannya. Tapimasih ada hal-hal yang harus dikritisi," ungkap Agus Salim, Ketua BEM UPI.
Hal-hal yang masih dikritisi yang dimaksud Agus adalah, keberadaan unsur mahasiswa di Majelis Wali Amanah (MWA). "UPI adalah satu-satunya PT BHMN yang tidak terdapat unsur mahasiswa di dalam MWA-nya," kata Agus lagi.
Proses transisional dari kultur kebergantungan pada pemerintah menuju otonomi dan kemandirian kampus, bukanlah sebuah jalan lurus yang mulus. Tampaknya beberapa PT BHMN yang sudah ada selama ini masih terus menemukan formula yang paling tepat. "Ini sedang masa transisi. Namun harus dijaga agar masa transisi ini terjadi di track yang benar," ujar Anam.
Neoliberalisme
Sementara pakar pendidikan H.A.R Tilaar mencermati rencana mem-BHP-kan lembaga pendidikan sebagai upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) dituding berada di balik rencana ini. "Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Kita ini masih negara kere. Bagaimana mau maju kalau pemerintahnya lepas tangan?" cetus H.A.R Tilaar.
Alih-alih memenuhi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20%, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. "Coba saja, ujung-ujngnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu," tukasnya lagi.
Cerita dari Adrian Febri, Ketua Divisi Kajian KM-ITB, mungkin bisa menggambarkan tudingan dari H. A. R. Tilaar tersebut. Adrian berpendapat, belakangan terjadi perubahan kultur di ITB. Mahalnya biaya pendidikan mungkin tidak terlalu terasa lagi, karena lama-lama akan terbentuk komunitas homogen, alias orang yang mampu saja. "Dulu itu parkir mobil di sini tidak terlalu ramai. Wah, kalau sekarang, penuh terus. Banyak yang suka nggak dapat," kata Adrian.
Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus. Namun jangan sampai mengundang protes masyarakat dengan berteriak, "Orang miskin dilarang kuliah."***
dewi irma
kampus_pr@yahoo.com