Acehku Sayang Acehku Malang
Apa yang beda dari tahun baru 2005 bagi bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia, bahkan dunia, menangis menyaksikan serambi Mekah dilanda gempa 8,9 skala richter dan dihantam gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan kota dan penduduknya. Lebih dari 100.000 orang meninggal dunia, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan sampai di atas tiang listrik, rumah-rumah dan perkantoran hancur, ribuan anak menjadi yatim, ribuan wanita menjadi janda dan lain-lain. Ya, hari-hari ini hanya ada tangis dan duka nestapa untuk Aceh.
Musibah ini dinyatakan sebagai musibah terdahsyat abad ini. Dunia terperangah melihat dampak luar biasa dari gempa dan gelombang Tsunami yang melanda Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya. Bahkan Menlu AS Collin Powell mengaku ngeri saat menyaksikan langsung kondisi Meulaboh melalui helicopter, padahal ia sudah menyaksikan berbagai kejadian peperangan dan bencana dengan korban tak sedikit di berbagai Negara, tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan musibah di Aceh.
Dan tiba-tiba, musibah ini menghentak nurani bangsa dan dunia. Nuansa spiritualitas dan kemanusiaan menyeruak menggedor kesadaran manusia yang selama ini terlena dengan kepentingan diri dan dunia. Individualisme dan dunia menjadi ciut di hadapan kuasa Tuhan Yang Maha Perkasa.
Apakah ini adzab atau ujian? Bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh, jelas ini adalah ujian untuk mengetahui mana yang sabar dan mana yang lemah iman. Ini bisa menjadi sarana introspeksi diri dan bangsa bahkan dunia. Ini juga bisa menjadi salah satu bentuk kerinduan Tuhan untuk segera berjumpa dengan hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Sedangkan bagi para pendurhaka, jelas ini merupakan adzab bagi orang-orang yang selama ini mengotori Serambi Makah dengan dosa dan maksiat. Ini bisa jadi adzab Tuhan untuk para pelanggar HAM di Aceh, pembunuh masyarakat tak berdosa, pemerkosa wanita, pengedar ganja dan sebagainya.
Kejadiannya sama: Gempa dan Tsunami, tapi tidak bisa menggeneralisir bahwa itu adzab untuk masyarakat Aceh. Apa dosa bayi dan anak-anak kecil yang ketika mayatnya dijajarkan tampak seperti tertidur dengan lucunya? Apa dosa para da’i yang tak pernah lelah siang malam mengajak masyarakat kepada Sang Pencipta? Yang malamnya penuh kekhusyukan bermunajat kepada-Nya? Para ulama yang ketika menyaksikan jenazahnya, tampak tersenyum penuh kegembiraan? Bagi orang-orang seperti ini, Insya Allah kejadian ini merupakan ujian, bahkan bentuk kasih sayang Sang Pencipta.
Gerakan Mahasiswa: Quo Vadis?
Gempa dan Tsunami Aceh adalah sepenggal realita yang melahirkan solidaritas umat sedunia. Kejadian ini menjadi perhatian dunia dan lembaga-lembaga internasional. Bantuan mengalir dengan deras dari berbagai penjuru dan dari berbagai kelompok orang, apapun agamanya dan bagaimanapun kondisi finansialnya.
Ketika FKDF Unpad menghimpun dana untuk Aceh di gerbang Unpad Jatinangor, Saya berjumpa dengan seorang pengamen anak jalanan yang bercerita, “Kalau untuk seperti Aceh, Saya juga ikut nyumbang tadi meskipun hanya Rp.500,00!”. Ia juga bersedia bersama kami untuk menghimpun dana di bis yang lewat. Dia bernyanyi dan kemudian dana yang terkumpul diserahkan untu Aceh. Luar biasa! Saya hampir menangis mendengarnya. Anak jalanan yang sebenarnya mereka juga membutuhkan, ternyata memiliki empati luar biasa untuk saudaranya di Aceh.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang jauh lebih beruntung dari anak jalanan tadi? Apakah mahasiswa memiliki kepedulian yang (minimal) setara dengan anak tadi? Apakah mahasiswa Indonesia juga ikut berpartisipasi membantu saudara-saudaranya di Aceh?
Lebih spesifik lagi, pertanyaan ini perlu ditujukan kepada para aktifis kemahasiswaan yang menjadi motor pergerakan mahasiswa di Indonesia, Apa yang telah dilakukan gerakan mahasiswa dengan kejadian ini? Apakah gerakan mahasiswa tetap asyik masyuk dengan isu-isu politik an sich? Dan apa yang sebaiknya dilakukan gerakan mahasiswa berkaitan dengan masalah ini?
Saya sengaja ingin menyoroti gerakan mahasiswa karena kalau mahasiswa secara umum sudah jelas antusiasme mereka untuk membantu saudara-saudara mereka di Aceh. Mereka dengan suka rela mengumpulkan dana, makanan, pakaian layak pakai dan tentunya doa.
Mengapa gerakan mahasiswa? Karena jika pengelolaan isu Aceh ini terorganisir rapi se-Indonesia akan menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar. Ini memang bukan masalah politik, karena memang terlalu naif jika menganggap gerakan mahasiswa hanya berkaitan dengan masalah politik saja. Gerakan mahasiswa memang sebuah gerakan politik nilai, tapi ia juga adalah gerakan moral, gerakan intelektual, gerakan cinta lingkungan, bahkan gerakan social.
Secara kelembagaan, kita sudah menyaksikan peran-peran mahasiswa secara riil di kampus masing-masing serta di Aceh langsung. Di kampus masing-masing, lembaga kemahasiswaan memiliki legitimation power untuk menghimpun dana dari mahasiswa dan mendapat kepercayaan juga dari masyarakat untuk menyalurkan dana untuk korban bencana.
Dana dan bantuan dari mahasiswa serta masyarakat telah diorganisir secara resmi oleh lembaga kemahasiswaan tingkat Universitas, Fakultas dan jurusan. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), BEM/SEMA Fakultas dan Himpunan Mahasiswa (HIMA) semuanya telah bergerak. Bahkan bukan hanya lembaga kemahasiswaan intra kampus, elemen ekstra kampus juga bergerak seperti KAMMI, HMI, IMM, PMII dan sebagainya.
Di Universitas Padjadjaran, BEM KEMA Unpad bekerja sama dengan BEM/SEMA Fakultas mengumpulkan dana untuk Aceh, hanya saja dana yang terkumpul diprioritaskan untuk mahasiswa Unpad asal Aceh yang membutuhkan. UKM dan FKDF juga bergerak menghimpun dana dan disalurkan melalui lembaga yang dapat dipercaya seperti BSMI, Media Indonesia dan lain-lain. Beberapa mahasiswa Unpad sudah berangkat sebagai relawan ke Aceh dari berbagai jalur. SAR UNPAD juga mengirimkan relawan ke Aceh.
Pihak rektorat Universitas Padjadjaran memberikan bantuan untuk mahasiswa asal Aceh. Hanya saja belum jelas apakah gratis SPP atau ditangguhkan? Kalau gratis SPP, apakah hanya semester ini saja atau selama kuliah di Unpad? Informasi di kalangan mahasiswa masih simpang siur. Sepertinya, BEM Unpad perlu bergerak mengadvokasi mahasiswa Aceh sehingga mereka mendapat kejelasan dan jaminan bisa kuliah sampai beres di Universitas Padjadjaran.
Di Institut Teknologi Bandung, lembaga kemahasiswaan juga bergerak menghimpun dana dan menyalurkannya. Mereka meminta kantin di ITB bisa gratis khusus mahasiswa asal Aceh. KM ITB mengirimkan relawan ke Aceh dengan dukungan dana juga dari rektorat. Resimen Mahasiswa ITB pun telah mengirimkan relawan dari anggota terbaiknya ke Aceh.
STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) tak mau kalah dalam kebaikan. Mereka mengirimkan relawan dari praja STPDN ke Aceh untuk membantu masyarakat Aceh secara langsung. Hanya saja, ada informasi mereka ditembaki GAM. Kemungkinan terjadi salah paham, mereka dianggap seperti TNI karena potongan rambut cepak mereka.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengirimkan relawannya ke Aceh. Mereka memasang instalasi air bersih di dekat Rumah Sakit di Aceh sesuai dengan kemampuan mereka. Sebelum pemasangan instalasi air bersih itu, mahasiswa dari BEM UI sempat bersitegang dengan tentara dari Australia yang menolak pemasangan instalasi air bersih itu karena dianggap kurang canggih.
Badan Eksekutif Mahasiswa di Medan mengirimkan relawannya pada awal-awal bencana di Aceh, bahkan Ketua BEMnya langsung ke tempat kejadian. BEM di Yogyakarta juga ada yang mengirimkan relawan ke Aceh. Di Bandung sendiri, mahasiswa dari berbagai kampus bekerja sama dengan Shafira dan Serikat Karyawan Telkom berencana mengirimkan relawan ke Aceh untuk membuat dapur umum dan penyediaan air bersih. Gerakan ini didukung oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Bandung Raya. Sekarang tim advance dari mahasiswa masih berada di Aceh dan Medan.
Aceh: Agenda Gerakan Mahasiswa Indonesia 2005
Semua lembaga kemahasiswaan di Indonesia hari-hari ini memang sudah semua bergerak, hanya saja masih bergerak sendiri-sendiri dan belum terkordinasikan dengan baik dari segi isu dan praksisnya. Maka gerakan mahasiswa perlu merumuskan kebutuhan dan solusi-solusi kongkret yang bisa di lakukan mahasiswa untuk Aceh. Penanggulangan masalah Aceh tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, setidaknya butuh waktu minimal tujuh bulan untuk kembali pulih.
Agenda gerakan mahasiswa haruslah tepat sasaran dan sesuai kebutuhan serta kemampuan mahasiswa. Gerakan ini juga diharapkan menjadi sarana aplikasi ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah. Gerakan ini juga harus mampu bekerja sama dengan semua elemen bangsa karena mahasiswa tidak mungkin bisa bekerja sendirian.
Berikut ini adalah tawaran agenda kepada gerakan mahasiswa Indonesia, baik intra kampus (Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia) maupun ekstra kampus (HMI, KAMMI, PMII, IMM, GMNI, FMN, dll). Sudah saatnya gerakan mahasiswa kembali bersatu dan menghilangkan sekat-sekat yang hari ini menjadikan gerakan mahasiswa terpolarisasi.
Agenda Gerakan Mahasiswa yang dimaksud adalah:
1. Advokasi Mahasiswa Aceh
Gerakan mahasiswa harus memperjuangkan kesejahteraan mahasiswa asal Aceh yang keluarganya menjadi korban bencana. Pastikan mereka tetap belajar sampai beres di kampus sehingga mereka siap kembali ke Aceh untuk membangun daerahnya. Pastikan mereka mendapat fasilitas SPP gratis dan biaya untuk kehidupan sehari-hari (makan, kostan dll). Kalau perlu, gerakan mahasiswa mendesak Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Pemuda dan Olahraga untuk mengeluarkan kebijakan khusus untuk membantu mahasiswa asal Aceh.
2. Pengiriman tenaga medik
Pasca gempa dan Tsunami sangat dimungkinkan muncul bencana baru berupa wabah penyakit. Dibutuhkan tenaga medis untuk menangani masalah ini. Mahasiswa fakultas kedokteran, keperawatan dan Farmasi bisa terlibat dalam masalah ini dengan esamese dari dokter dan apoteker.
3. Pendirian Trauma Center
Penduduk Aceh mengalami musibah yang tidak hanya meluluh lantakkan fisik kota dan tubuh, tapi juga mengguncang struktur psikologis mereka. Mereka menyaksikan bencana, melihat mayat-mayat keluarga mereka, kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan tempat tinggal dan sebagainya. Mereka mengalami stress, depressi dan trauma (post traumatic disorder). Dibutuhkan tenaga psikolog dan psikiater dalam jumlah yang banyak untuk membantu mereka. Mahasiswa Psikologi dan Kedokteran bisa ikut terlibat dengan tetap disupervisi oleh psikolog dan psikiater. Program ini tidak bisa dilaksanakan sendirian. Gerakan mahasiswa harus bekerja sama dengan HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia) dan ikatan profesi kedokteran jiwa.
4. Pembangunan instalasi air bersih
Air permukaan di Aceh pasca bencana jelas-jelas tidak bisa digunakan segera karena bercampur dengan air laut dan sisa-sisa mayat manusia serta binatang. Dibutuhkan tenaga-tenaga ahli teknik untuk membangun instalasi air bersih. Mahasiswa dari Fakultas Teknik bisa berperan dalam program ini. Pengadaan peralatan pembersih air bisa bekerja sama dengan kedutaan besar Amerika Serikat dan Jepang yang memberikan bantuan kepada Indonesia berupa peralatan pembersih air untuk Aceh.
5. Pengiriman relawan guru
Aktifitas pendidikan terhenti di Aceh karena sarana dan prasarana rusak. Kita semua sepakat, pendidikan memainkan peran signifikan dalam pembangunan sebuah daerah, oleh karena itu recoveri aktifitas pendidikan untuk anak-anak Aceh perlu segera dilaksanakan. Dibutuhkan relawan dalam jumlah yang besar untuk mengajar anak-anak Aceh. Mahasiswa dari perguruan tinggi kependidikan dan keguruan (seperti UPI, UIN dll) bisa berperan optimal dalam program ini. Kalau perlu desak pihak Universitasnya supaya ada program pengiriman guru esam di Aceh. Bahkan, kalau bisa secara resmi menjadi program Praktek Kerja Lapangan dengan mengajar di Aceh dan merupakan bagian dari tugas kuliah yang harus dilaksanakan mahasiswa.
6. Program Kakak Asuh
Masyarakat Aceh tidak bisa semuanya serta merta bekerja seperti semula sehingga mereka memiliki penghasilan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mahasiswa bisa menggagas program kakak asuh untuk anak-anak Aceh. Tidak perlu mengadopsi mereka karena akan lebih baik mereka tidak keluar Aceh sehingga tidak tercerabut dari akar budayanya. Mahasiswa hanya mengumpulkan dana untuk membiayai pendidikan adik-adik kita di Aceh. Program ini perlu dikelola secara professional sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada public. Dalam pelaksanaannya bisa bekerja sama dengan LSM-LSM terpercaya yang memiliki program serupa.
7. Pengiriman Pembimbing keagamaan
Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat religius. Pada saat bencana, banyak para ulama dan tokoh agama yang meninggal dunia. Dibutuhkan orang-orang yang memahami agama untuk membimbing masyarakat di Aceh. Mahasiswa yang menguasai ilmu agama bisa berperan dalam program ini, terutama mahasiswa dari perguruan tinggi keagamaan seperti IAIN, LIPIA, Sekolah Theologi dan sebagainya. Mereka diharapkan memberikan bimbingan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh yang plural.
8. Dapur Umum
Dapur umum masih diperlukan sampai beberapa bulan ke depan, baik untuk masyarakat maupun untuk para relawan. Mahasiswa yang memiliki keahlian memasak atau belajar tata boga bisa berpartisipasi dalam program ini
9. Pemberdayaan struktur pemerintahan
Aktifitas pemerintahan belum bisa berfungsi 100% karena SDM yang minim serta sarana prasarana belum memadai. Mahasiswa Fisip dan mahasiswa kedinasan seperti praja STPDN, AIS, AKMIL dan sebagainya bisa berperan optimal membantu proses pelayanan masyarakat di sana dengan terlibat di pemerintahan daerah sampai desa di Aceh.
10. Pemberdayaan ekonomi
Aktifitas ekonomi pasca bencana membutuhkan tangan-tangan professional dan ahli untuk membangun ekonomi masyarakat Aceh. Mahasiswa dari setiap fakultas dan jurusan bisa terjun membantu masyarakat Aceh sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing. Mahasiswa Fakultas Pertanian bisa membantu masyarakat kembali bercocok tanam dengan teknologi pertanian yang melipatgandakan hasilnya, mahasiswa fakultas peternakan bisa mengajarkan teknologi peternakan yang produktif dan memiliki potensi financial yang baik dan sebagainya
11. Program lain yang disesuaikan dengan karakteristik dan disiplin ilmu masing-masing dan memberi manfaat untuk masyarakat Aceh. Dan lain-lain.
Ini adalah tawaran agenda untuk mahasiswa Indonesia yang diharapkan mampu memberi kontribusi riil kepada bangsa ini. Mahasiswa Indonesia memang sudah bekerja untuk membantu Aceh dan bangsa ini. Hanya saja sekarang yang dibutuhkan bukan hanya sama-sama bekerja, tapi juga harus bekerja sama secara sinergis esame mahasiswa dan juga dengan seluruh elemen bangsa demi Aceh dan Indonesia yang lebih baik.